SEMARANG — Salah satu permasalahan terkait sumber daya air yang paling banyak terjadi di Indonesia adalah bencana banjir. Prof. Suharyanto Guru Besar Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Diponegoro (FT UNDIP) menawarkan konsep pengelolaan banjir yang tepat diterapkan di banyak sungai-sungai di hulu yang bermeander (berkelok-kelok) melalui Kolam Detensi Tapal Kuda (KDTK).
“Kalau membangun bendungan besar kan sangat kompleks. Perlu pembebasan lahan, memperhatikan jenis tanah dan lain sebagainya, sedangkan dengan kolam detensi karena skalanya lebih kecil maka masyarakat pun dapat ikut serta dalam pembuatan dan pengelolaannya,” katanya saat menyampaikan pidato ilmiah berjudul “Menjaga Kelestarian Sumber Daya Air”pada Sidang Terbuka Senat Akademik Undip, di Gedung Prof Soedarto SH Tembalang Semarang, Jumat (4/6/2021).
Doktor Teknik Sipil lulusan Swinburne University of Technology Australia ini menguraikan cara kerja kolam detensi adalah berfungsi menahan air dalam jangka waktu tertentu sambil menunggu waktu yang tepat untuk dikeluarkan kembali. Pada saat banjir, air dibelokkan ke kolam detensi sehingga beban air yang masuk ke sungai utama berkurang. “Semakin banyak kolam detensinya, beban air penyebab banjir yang dapat dikurangi juga makin besar,” kata pria kelahiran Yogyakarta, 14 September 1963.
Menurut dia, KDTK ini efektif mengurangi risiko banjir karena dapat mengurangi beban air sejak di hulu. “Kelokan-kelokan sungai sebagaian besar berada di hulu, jadi KDTK ini sudah mengurangi beban banjir sejak di hulu. Dengan demikian, risiko banjir di wilayah hilir yang penduduknya padat dapat dikurangi”.
KDTK adalah infrastruktur tampungan berupa kolam detensi (horse shoe detention pond) yang sangat tepat untuk dibangun pada lokasi tanah meander berbentuk tapal kuda (horse shoe) yang biasanya labil dan secara terus menerus mengalami permasalahan erosi atau gerusan tebing di tikungan luar dan sedimentasi di tikungan dalam. Adanya KDTK mampu mengurangi debit banjir, menghambat waktu puncak banjir, bahkan membuka peluang pemanfaatan air untuk keperluan lokal.
“Kami sudah mengembangkan KDTK di Grobogan, daerah yang rawan banjir namun kesulitan membangun bendungan besar karena harus melakukan pembebasan lahan dan kondisi tanahnya tidak bagus untuk dijadikan pondasi bangunan besar. Kami mengembangkan KDTK di lahan yang tidak favorable. Karena skalanya kecil maka kelompok masyarakat juga dapat mengembangkan di daerahnya masing-masing,” ujar Ketua Program Studi Magister Teknik Sipil dan FT Undip dan Koordinator Kelas Kerjasama dengan Kementerian PUPR ini.
Suharyanto yang menamatkan Studi S1-nya di UGM 1987 dan S2 di Manitoba University Kanada tahun 1992 banyak melakukan penelitian di Sungai Lusi yang sedimentasi tinggi dan tanahnya alluvial serta daya dukungnya rendah. Kondisi dan karakter tanah di wilayah yang dilewati Sungai Lusi ini banyak sekali terdapat di Indonesia.
Permasalahan pengelolaan sumber daya air (SDA), kata Suharyanto, terdiri dari 5 (lima) permasalahan pokok, yaitu too much, too little, too dirty, too far, dan untimely. Masalah ini sering disebut sebagai bencana hidro-meteorologi seperti banjir, longsor, dan kekeringan. Di Indonesia masalah terkait air terus terjadi tiap tahun secara silih berganti, dan ini mengindikasikan bahwa pengelolaan sumber daya air masih belum seperti yang diharapkan.
Kelima masalah tersebut dapat dihubungkan dengan prinsip pengelolaan pada UU No 17/2019 tentang Sumber Daya Air yaitu harus dilakukan secara terpadu antara pilar-pilar pengelolaan yang meliputi konservasi SDA, pendayagunaan sumber daya air, dan pengendalian daya rusak air yang didukung prinsip partisipatif dan sistem informasi sumber daya air. Mengingat SDA tidak mengenal batas batas administrasi, mengalir dari hulu ke hilir, dan menyangkut hajat hidup setiap orang; maka keterpaduan harus dilakukan mulai dari perencanaan, konstruksi, operasi-pemeliharaan, monitoring-evaluasi, dan feedback dengan mengedepankan keterpaduan antara stakeholder yang terkait, antar wilayah, antar hulu-hilir, kolaboratif, partisipatif, seimbang pembangunan dan kelestarian lingkungan, tanpa mengurangi hak generasi mendatang.
Untuk itu, beberapa forum kerjasama dan koordinasi seperti TKPSDA (Tim Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air), GNKPA (Gerakan Nasional Kemitraan Penyelamatan Air), Jejaring Sumber Daya Air Indonesia (JSDAI) penting untuk terus dikembangkan ke level yang lebih mikro. Dia menilai forum kerjasama yang ada masih berada di di tingkat pengambil keputusan. “Kita perlu forum kerjasama dan koordinasi di tingkat operasional di lapangan dan dalam skala mikro karena tingkat mikro adalah ujung tombak keberhasilan pengelolaan sumber daya air terpadu,” urai peraih gelar dosen teladan FT Undip tahun 2000 ini.
Salah satu upaya yang mencakup keseluruhan pilar pengelolaan (konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air, dan pengendalian daya rusak air) adalah pembangunan infrastruktur tampungan (storage) yang dibangun secara partisipatif dan dalam skala mikro. Dengan tampungan maka permasalahan too much, too little, too far, dan untimely water dapat dikelola yaitu dengan penyediaan, pengelolaan dan pengoperasian infrastruktur tampungan yang sesuai.
Ayah tiga anak ini berprinsip, bila berada di suatu tempat maka harus sampai yang maksimal paling tinggi. Sebagai dosen, ya berusaha mencapai yang optimal. “Saya merasa kebahagiaan menjadi guru besar ini ternyata bukan hanya kebahagiaan saya pribadi dan keluarga tapi lebih luas lagi. Teman-teman dosen, mahasiswa dan kolega di pemerintahan ternyata juga banyak yang ikut bangga dan bahagia saya berhasil menjadi guru besar,” ungkap suami dari Umi Hardaningsih Amd yang tesis S2-nya tentang Sungai Brahman di Bangladesh.
Dia berharap apa yang telah dicapainya bisa menjadi penyemangat dan inspirasi untuk kawan-kawan dosen yang lain. “Semoga bisa memberi manfaat yang lebih besar dengan amanah sebagai guru besar,” tukas dia. (tim humas)