Universitas Diponegoro

Departemen Ilmu Komunikasi UNDIP Dengan Remotivi Lakukan Kerja Sama Riset “Mengapa Banyak Mahasiswi Jurnalistik dan Sedikit Jurnalis Perempuan?”

Penelitian yang dilakukan Remotivi bekerja sama dengan Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia dan Universitas Diponegoro menunjukkan bahwa 65% mahasiswa dan 63% mahasiswi tidak memprioritaskan karir jurnalistik sebagai pilihan utama pekerjaan setelah lulus kuliah. Hasil riset tersebut tersebut didiskusikan melalui secara daring melalui Zoom Meet, sabtu (10/7) dengan tajuk “Mengapa Banyak Mahasiswi Jurnalistik dan Sedikit Jurnalis Perempuan? (Studi Mengenai Persepsi dan Ketertarikan Mahasiswa dan Mahasiswi Jurnalistik untuk Bekerja di Industri Pers)” dengan pembicara M. Heychael, MSi (Peneliti Remotivi), Dr. Nurul Hasfi (Peneliti, Pengajar Jurnalistik Undip), Dr. Eriyanto (Peneliti, Pengajar Ilmu Komunikasi UI), dan penanggap Evi Mariani MSc (Pempred Project Multatuli, Anggota AJI Bidang Gender, Anak dan Marjinal) serta Dr. Irwa R. Zarkasi (Dekan Fisip UAI/ASPIKOM).

Riset ini dilakukan terhadap mahasiswa dan mahasiswi jurnalistik tingkat sarjana di empat kampus yaitu Universitas Gadjah Mada, Universitas Indonesia, Universitas Padjadjaran, Universitas Diponegoro dengan menggunakan metode survei dan Focus Group Discussion. Survei dilakukan menggunakan metode sensus yang melibatkan 222 responden (65 laki-laki dan 157 perempuan) dengan total response rate sebesar 65,7%. Dalam riset ini menemukan bahwa meski kebanyakan mahasiswa dan mahasiswi tidak memprioritaskan jurnalisme sebagai karier, mereka menilai pekerjaan jurnalis memiliki prestise (85,08%), mempunyai dampak sosial (85,44%), dan merupakan profesi dengan idealisme yang tinggi (72,24%). Selain itu meskipun profesi jurnalis dinilai kurang menawarkan hal positif seperti privilese jaringan, pengembangan intelektual, dan kemampuan mengubah keadaan, namun dinilai negative dalam konteks jenjang karir dan gaji.

Dalam kesempatannya, Nurul Hasfi menyampaikan selaras dengan temuan lain penelitian ini, perempuan cenderung melihat profesi jurnalis sebagai profesi yang penuh risiko keamanan dan belum ramah terhadap perempuan. Pengalaman belajar dalam kelas maupun magang mengajarkan perempuan nilai-nilai maskulin dari profesi jurnalis (penuh risiko, memiliki beban kerja berat, dan sebagainya).

“Pandangan positif mengenai profesi jurnalis, yang pertama privilese, yakni memiliki keistimewaan dan eksklusivitas untuk menghadiri berbagai acara termasuk dalam bertemu dengan banyak narasumber penting. Kedua intelektual, artinya berkarier sebagai jurnalis dianggap dapat menambahn wawasan dan memberikan kesempatan untuk mempelajari banyak hal. Ketiga, aktivitas kerja jurnalis melatih kemampuan menulis dan mendokumentasikan atau meliput suatu peristiwa. Selanjutnya dampak pekerjaannya adalah kemampuan untuk mempengaruhi khalayak luas melalui karya jurnalistik, membela  kepentingan masyarakat, dan bisa menyampaikan informasi yang benar berdasarkan situasi lapangan” tuturnya.

Sementara Peneliti Remotivi, Muhamad Heychael mengatakan, alasan mahasiswa dan mahasiswi tidak memprioritaskan karir jurnalistik karena kompensasi yang diterima jurnalis tidak sebanding dengan beban dan risiko pekerjaan. Menurut Heychael, data ini menunjukkan bahwa yang menjadi masalah adalah rendahnya penghargaan dan budaya kerja yang eksploitatif dalam industri media.

Remotivi adalah sebuah lembaga studi dan pemantauan media yang dibetuk di Jakarta pada tahun 2010. Cakupan kerjanya meliputi penelitian, advokasi, dan penerbitan.

Laporan lengkap riset dapat diakses melalui https://remotivi.or.id/penelitian/11/mengapa-ada-banyak-mahasiswi-jurnalistik-tetapi-sedikit-jurnalis-perempuan atau bit.ly/ReportMahasiswiJurnalistik.  (Linda Humas)

 

Share this :
Exit mobile version