Kemajuan teknologi kedokteran telah mendorong banyak inovasi yang semuanya berawal dari riset ilmu kedokteran dasar. Perkembangan ilmu kedokteran yang semakin maju merupakan hasil dari penerapan kedokteran translasional dengan prinsip bench to bedside.
“Seorang klinisi yang bekerja di pusat penelitian dan pengembangan ilmu kedokteran memiliki tanggung jawab untuk menjembatani ilmu kedokteran klinis dengan ilmu kedokteran dasar sehingga tercapai hilirisasi riset dan dapat diterapkan dalam praktek klinik dan dirasakan manfaatnya oleh khalayak ramai.” ungkap Prof. dr. Muhamad Thohar Arifin, Ph.D., PA., Sp.BS (K)., pada pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar dalam Ilmu Neuroanatomi di Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Diponegoro (Undip), Rabu (15/06).
Dalam pidatonya yang berjudul “Pengembangan Ilmu Bedah Saraf Fungsional Berbasis Neuroanatomi Klinis Guna Keselamatan dan Kualitas Hidup Pasien”, ia menjelaskan ilmu Neuroanatomi klinis ialah keilmuan dasar yang dapat digunakan untuk mengurai beberapa masalah yang dihadapi dalam praktek sehari-hari di bidang bedah saraf. Beberapa kesulitan yang ditemui dalam operasi pengangkatan tumor otak di lokasi korteks eloquent, mendorong penggunaan modalitas imaging intraoperative seperti USG hingga MRI yang dapat memberikan informasi secara akurat dan real-time.
Pemahaman mengenai area otak dengan fungsi utama/ penting / eloquent cortex, mendorong urgensi demarkasi lesi intraserebral untuk mencegah defisit neurologis paska operasi. Pengetahuan ahli bedah saraf mengenai struktur otak yang bertanggung jawab terhadap tercetusnya gelombang kejang mendorong pengembangan teknik operasi bedah epilepsi yang lebih rumit.
“Penerapan prinsip-prinsip di atas memerlukan sumber daya dan teknologi yang tinggi yang masih jarang dijumpai di Indonesia terutama pada divisi bedah saraf fungsional; yang merupakan pendekatan pembedahan dengan mengedepankan keutuhan struktur anatomi dan fungsi serta meminimalkan risiko kecacatan dan kematian.” jelas pengajar di Prodi Bedah Saraf FK Undip ini.
Menurutnya, pemahaman neuroanatomi adalah kunci untuk menentukan letak suatu lesi di otak berdasarkan gangguan fungsi yang menjadi keluhan pasien. Sebagai contoh, cedera pada traktus piramidalis satu sisi akan mengakibatkan kelumpuhan pada sisi tubuh yang berlawanan. Menentukan lokasi suatu lesi sama seperti mencari alamat suatu gedung atau rumah dalam sebuah peta. Suatu cedera pada sistim saraf pusat akan memberikan gambaran lokasi yang spesifik berdasarkan gejala motorik, sensorik maupun fungsi luhur. Sehingga gejala dari suatu bagian sistem saraf yang spesifik dapat menjadi dasar menentukan lokasi organ yang cedera dengan tepat.
“Kerusakan atau cedera pada struktur dalam di kompartemen saraf pusat dan saraf tepi memberikan gejala serta tanda yang berbeda, sehingga seorang dokter yang menguasai ilmu neuroanatomi dengan baik dapat mengetahui lokasi lesi tersebut melalui serangkaian pemeriksaan klinis yang sistematis dan komprehensif.” ucapnya.
Diagnosis neuroanatomi tetap menjadi dasar yang penting, disaat perkembangan neurofisiologi, neuroimaging, dan biologi molekuler sedemikian maju, mengingat pentingnya kemanfaatan diagnosis anatomis suatu lesi. Pemahaman neuroanatomi klinis yang baik akan mencegah praktek fraud dalam penggunaan modalitas penunjang seperti “gunshot approach” pada neuroimaging. Gunshot approach adalah penggunaan pemeriksaan penunjang yang acak tanpa memperhatikan aspek klinis, sehingga menyebabkan pemborosan dan efek samping pemeriksaan penunjang yang kurang tepat dan tidak perlu.
Pemahaman neuroanatomi klinis yang baik akan menghindarkan seorang dokter bedah saraf dari melakukan tindakan operasi yang tidak sesuai dengan klinis dan hasil pemeriksaan penunjang pada pasien. “Penatalaksaaan pasien bukan hanya semata mengobati kelainan radiologis saja tetapi harus berdasarkan pertimbangan kesesuaian antara anatomo-clinico-radiologico-correlation. Sebagai dokter bedah saraf, pemahaman mendalam dan menyeluruh terhadap anatomi sistem saraf merupakan keharusan yang tidak bisa ditawar untuk mencapai seorang excellent neurosurgeon.” ucap pria kelahiran Kulon Progo 14 April 1974 itu.
Ditunjang dengan teknik anestesi yang memungkinkan pembedahan otak dilakukan dalam kondisi pasien sadar atau disebut awake surgery telah meningkatkan angka keberhasilan dan menurunnya resiko komplikasi karena rusaknya eloquent cortex. Komplikasi dari operasi tumor otak yang terletak berdekatan dengan eloquent cortex sering menjadi momok bagi ahli bedah saraf. Awake surgery diindikasikan pada kasus tumor otak risiko tinggi yang terletak berdekatan atau terdapat di area yang memiliki fungsi penting baik untuk menggerakkan anggota badan, sensibilitas, fungsi berbicara, fungsi komprehensi dan memahami kosa kata.
Pembedahan dalam keadaan sadar diperlukan untuk menilai batas-batas jaringan yang boleh diambil oleh seorang dokter bedah seluas mungkin tanpa meninggalkan kecacatan permanen bagi pasien (safe maximal resection). Teknologi ini belum banyak diadopsi di Indonesia karena keterbatasan alat dan sumber daya manusia, tetapi telah dilakukan di RSUP Dr. Kariadi pada kasus tertentu dengan hasil yang cukup baik.
Implementasi lain dari Neuroanatomi Klinis dapat dilihat pada penanganan kasus epilepsi di Indonesia. Sebagai bentuk tindakan bedah saraf yang masih tergolong baru di Indonesia, pengembangan bedah epilepsi di Semarang ini dilakukan dengan kerjasama dan dukungan penuh dari Hiroshima University School of Medicine, Kagoshima University School of Medicine dan Shizuoka National Epilepsy Center. “Setidaknya hingga kurun waktu Desember tahun 2020, peneliti telah melakukan pembedahan pada 799 orang dengan epilepsi dan pembahasan tentang hasil operasi epilepsi di Semarang ini sebagian telah dipublikasikan.” ungkap Prof. Thohar.
Lebih lanjut Prof. Thohar menjelaskan sebagai sebuah layanan unggulan, bedah epilepsi merupakan kolaborasi multidisiplin dari dokter bedah saraf, dokter saraf, dokter saraf anak, dokter kesehatan jiwa, dokter anestesi, dokter patologi anatomi, dokter radiologi, dan psikolog. “Sejak 2005 dengan ketersediaan sarana dan prasarana yang terbatas, peneliti mulai melakukan tatalaksana pembedahan pada kasus yang rumit. Pembedahan pada kasus epilepsi yang fokusnya terletak di luar lobus temporalis memerlukan extramonitoring atau intraoperatif dengan metode electrocorticography (ECog)/cortical mapping untuk meningkatkan cakupan reseksi tanpa mengakibatkan kecacatan dan cedera jaringan saraf yang permanen.” imbuhnya.
Selain itu, operasi yang lebih rumit dan kompleks seperti: selective amygdalohippocampectomy dengan tujuan preservasi fungsi kognitif dan memori, corpus callosotomy pada kasus epilepsi tipe drop attack, dan hemispherotomy untuk kasus epilepsi hemiplegik juga telah dilakukan di RSUP Dr. Kariadi. Pada fase kedua ini sebagian pasien dengan epilepsi lobus temporalis juga memiliki hasil pencitraan yang relatif normal (MRI-negative epilepsy) sehingga memberikan tantangan tersendiri dalam memutuskan sisi pembedahan.
Strategi untuk menentukan letak fokus epilepsi dilakukan dengan mengimplementasikan pemahaman neuroanatomi klinik, neurofisiologi dan hasil pemeriksaan penunjang yang menjadi standar pada prosedur yang lebih rumit. “Pengamatan kami membuktikan bahwa operasi tersebut memberikan angka bebas kejang yang memuaskan dan sebanding dengan keluaran yang dilaporkan oleh beberapa pusat bedah epilepsi di negara lain, hal tersebut patut dibanggakan mengingat pengembangan bedah epilepsi di Indonesia berhadapan dengan keterbatasan sumber daya dan fasilitas.” kata Prof. Thohar.
Pengembangan bedah epilepsi merupakan tujuan bersama yang terkait dengan core strategies yang telah ditetapkan oleh Kelompok Studi Brain and Spine FK Undip/RSUP Dr Kariadi. Strategi inti ini meliputi regenerasi dokter saraf dan dokter bedah saraf yang memiliki kekhususan pada epilepsi dan bedah epilepsi, rekrutmen tenaga ahli untuk melakukan perekaman gelombang otak (EEG technologist), penggunaan modalitas diagnostik berteknologi tinggi seperti video-EEG, MRI, hingga PET-scan untuk merencanakan tindakan operasi, pemilihan kandidat operasi secara ketat, dan jenis operasi berdasarkan data-data klinis yang tersedia, serta kolaborasi erat dengan departemen terkait.
“Selain itu kami mengembangkan kerjasama dengan institusi bedah epilepsi di luar negeri terutama pada fase awal pengembangan bedah epilepsi untuk sarana transfer of knowledge dan berbagi kasus-kasus sulit yang kami temukan di Indonesia.” pungkasnya.
Prof. dr. Muhamad Thohar Arifin, Ph.D., PA., Sp.BS (K)., menjadi Guru Besar ke-11 pada Fakultas Kedokteran Undip. Sampai dengan saat ini Universitas Diponegoro memiliki 161 Guru Besar aktif.