Kemiskinan di Indonesia yang masih tinggi dan Ketahanan Pangan yang lemah menjadi perhatian utama dalam diskusi pada Forum Jurnalisme dan Akademisi (JUARA) Universitas Diponegoro bekerjasama dengan Universitas Paramadina, LP3ES, INDEF dan KITLV Leiden diadakan melalui zoom meeting pada Minggu (22/9/2024).
Para pembicara memberikan kritik dan masukan terkait isu ini, mulai dari politik pangan yang harus diubah karena saat ini terganjanjal UU Cipta kerja, hingga upaya membantu petani dengan teknologi plasma yang bisa mengatasi permasalahan sempitnya lahan, perubahan iklim dan kualitas hasil pertanyan yang berlipat ganda.
Dalam sambutannya pada Forum Juara, Wakil Rektor IV Universitas Diponegoro, Wijayanto, menyoroti tingginya tingkat kemiskinan di Indonesia, khususnya di Jawa Tengah. Data dari tahun 2023 menunjukkan bahwa terdapat 3,79 juta penduduk miskin di provinsi ini, atau sekitar 10,77% dari total populasi. Angka ini merujuk pada jumlah orang yang memiliki pengeluaran bulanan di bawah Rp 472.525, batas garis kemiskinan yang ditetapkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Hal ini menegaskan bahwa kemiskinan masih menjadi masalah serius yang memerlukan solusi segera.
Sebagai wujud komitmen Universitas Diponegoro (UNDIP) dalam mendukung pengentasan kemiskinan, UNDIP terus mengembangkan berbagai program inovatif yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Salah satu program nyata adalah penerapan teknologi pertanian dan pemberdayaan komunitas petani di Jawa Tengah, yang dipaparkan oleh Prof. Muhammad Nur. Rektor Universitas Diponegoro juga sedang memantau secara langsung program pengentasan kemiskinan di Demak, yang bertujuan membantu korban bencana rob.
Inisiatif ini sejalan dengan tekad Universitas Diponegoro untuk mewujudkan visi “UNDIP Bermartabat, UNDIP Bermanfaat” yaitu memastikan hasil penelitian para dosen memberikan dampak positif bagi masyarakat, terutama di Jawa Tengah. Warek IV UNDIP, Wijayanto, berharap Forum Juara dapat menjadi ruang diskusi yang mendukung terwujudnya tekad tersebut.
Perubahan Kelas Menengah dan Tantangan Ekonomi
Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Abra Talattov, menjelaskan bahwa selama periode 2019 hingga 2024, kelas menengah di Indonesia menyusut secara signifikan. Jumlah kelas menengah turun dari 57,33 juta menjadi 47,85 juta, sementara kelompok menengah rentan meningkat dari 128 juta menjadi 137,50 juta. Kelompok rentan miskin juga bertambah dari 54,97 juta menjadi 67,69 juta orang. Pengeluaran bulanan per kapita untuk kelas menengah berkisar antara Rp 2,04 juta hingga Rp 9,90 juta, sementara kelompok miskin stagnan di angka 25,22 juta orang dengan pengeluaran bulanan Rp 582.940.
Abra juga menyoroti menurunnya kontribusi sektor pertanian terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Pertumbuhan sektor ini menurun dari 4,24% pada tahun 2014 menjadi 1,3% pada tahun 2023, dan pangsanya terhadap PDB berkurang menjadi 12,53%. Meskipun sektor pertanian menyerap 29,4% dari total tenaga kerja nasional, pendapatan petani dan nelayan tetap rendah. Untuk mengatasi tantangan ini, anggaran ketahanan pangan diperkirakan akan tumbuh rata-rata 11,3% per tahun, dengan fokus pada pembangunan irigasi, ketersediaan pupuk, serta penguatan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Tantangan di Sektor Pertanian dan Ketenagakerjaan
Firmansyah, Guru Besar Ilmu Ekonomi Universitas Diponegoro, menyoroti bahwa meskipun sektor pertanian berada di posisi ketiga dalam distribusi, tantangan besar masih dihadapi, termasuk rendahnya produktivitas dibandingkan negara-negara Asia lainnya. Pertumbuhan sektor ini terhambat oleh stagnasi dalam sektor ketenagakerjaan, yang mengalami pertumbuhan paling lambat sejak 2018.
Firmansyah menekankan pentingnya perhatian serius dari pemerintah terhadap meningkatnya angkatan kerja yang dapat memperlambat kemajuan ekonomi jika tidak dikelola dengan baik. Kondisi ketenagakerjaan yang stagnan dianggap menjadi tantangan utama yang memerlukan solusi segera. Selain itu, ia menyoroti minimnya dukungan pemerintah dan swasta terhadap kampus, yang berdampak pada kurang optimalnya sinergi antara perguruan tinggi dan pemerintah.
Hilirisasi dan Politik Pangan
Firmansyah juga mendukung program hilirisasi yang digaungkan oleh pasangan capres-cawapres Prabowo-Gibran. Hilirisasi, menurutnya, dapat meningkatkan perekonomian jika dijalankan dengan tepat, hati-hati, dan didukung oleh infrastruktur yang memadai serta penanganan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang baik.
Sementara itu, Guru Besar Ilmu Ekonomi Universitas Diponegoro, FX Sugiyanto, menekankan pentingnya peran pemerintahan baru dalam pembangunan ekonomi, khususnya dalam menurunkan kesenjangan antara masyarakat berpendapatan rendah, menengah, dan tinggi.
Ia menggarisbawahi bahwa kesenjangan lebih terlihat di perkotaan, sementara di desa isu utamanya adalah rendahnya pendapatan dan terbatasnya lapangan pekerjaan.
Sugiyanto juga menyebutkan pentingnya menerapkan politik pangan yang tepat untuk memperkuat ketahanan pangan di Indonesia. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan yang saat ini tersandung oleh Undang-Undang Cipta Kerja perlu direvisi untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Sugiyanto menekankan model ekonomi saat ini tidak cukup untuk menyelamatkan petani. Salah satu solusinya adalah dengan memanfaatkan sumber pangan lokal, seperti sagu, agar daerah-daerah seperti Papua dan NTT tidak terlalu bergantung pada beras.
Solusi Teknologi Pertanian
Sebagai pembicara terakhir, Prof. Muhammad Nur, fisikawan dari Universitas Diponegoro, menawarkan solusi melalui pengembangan teknologi pertanian. Ia mempresentasikan temuan-temuan terkait teknologi aeroponik dan plasma yang dikembangkan bersama peneliti dari Rusia. Teknologi ini telah diterapkan pada petani binaan di 12 provinsi di Indonesia, yang prinsipnya adalah menumbuhkan tanaman dengan akar yang digantung di udara dan diberi nutrisi khusus. Teknologi ini diyakini mampu meningkatkan produktivitas tanaman dengan hasil berlipat dan kualitas yang baik.
Muhammad Nur juga menyoroti pentingnya inovasi teknologi dalam mengatasi masalah keterbatasan lahan, minat generasi muda yang rendah terhadap pertanian, serta tantangan perubahan iklim yang sering menyebabkan gagal panen. Selain itu, ia mengungkapkan bahwa teknologi ini juga membantu menjaga kualitas produk hortikultura pascapanen melalui sistem penyimpanan yang efektif, yang dikembangkan bersama Bank Indonesia.
Teknologi pertanian ini diharapkan dapat membantu petani meningkatkan produktivitas, mengurangi inflasi pangan, serta menjaga stabilitas harga pangan. Muhammad Nur juga menekankan pentingnya kolaborasi antara isu komoditas, komunitas, teknologi, dan generasi muda, terutama Generasi Z, dalam memajukan sektor pertanian Indonesia di masa depan.