Forum JUARA yang diinisiasi oleh Universitas Diponegoro (UNDIP), bekerjasama dengan LP3ES, Universitas Paramadina, INDEF dan KITLV Leiden kembali diadakan dengan mengangkat isu “Benarkah Gen Z Rentan Depresi? Kesehatan Mental di Tengah Dinamika Kehidupan Digital.” Kegiatan ini ini menghadirkan empat pembicara yang ahli di bidangnya yaitu Dian R. Sawitri, Guru Besar Psikologi UNDIP, Hastaning Sakti, Akademisi Psikologi UNDIP, Fatchiah E. Kertamuda, Akademisi Psikologi Univ. Paramadina dan Aurora Ardina Fawwaz yang juga merupakan Peer Counselor ‘Kita Teman Cerita’ gerakan peduli mental health di Psikologi UNDIP.
Dalam sambutannya Wakil Rektor IV UNDIP, Wijayanto menyoroti bagaimana Gen Z, yang lahir antara tahun 1997-2012, hidup di era digital sepenuhnya. Mereka adalah generasi yang sangat aktif di internet, dengan lebih dari 5 miliar orang di seluruh dunia menggunakan media sosial. Di Indonesia sendiri, 185 juta orang menggunakan internet dengan rata-rata waktu 7 jam 38 menit per hari, dan 3 jam 11 menit dihabiskan di media sosial.
Menurut Wijayanto, penggunaan media sosial menciptakan ilusi tentang kehidupan yang sempurna, di mana orang cenderung hanya menampilkan sisi positif hidup mereka. Hal ini mengarah pada fenomena “wang sinawang”, di mana pengguna media sosial, khususnya remaja putri, sering membandingkan hidup mereka dengan gambaran hidup ideal yang diposting oleh orang lain. Ini menyebabkan perasaan tidak puas dan masalah kesehatan mental seperti kecemasan dan depresi.
Dampak Sosial Media Terhadap Gen Z
Guru Besar Psikologi UNDIP, Dian R. Sawitri, menjelaskan bahwa media sosial memiliki karakteristik yang memungkinkan individu untuk menghasilkan dan menyebarkan konten secara luas. Media sosial juga bersifat dinamis dan memungkinkan interaksi dengan banyak orang, tetapi juga memiliki sisi negatif. Konten-konten negatif dan perbandingan sosial yang tidak sehat dapat menyebabkan turunnya rasa percaya diri.
Selain itu, Sawitri menekankan bahwa media sosial dapat menyebabkan distraksi dan adiksi, terutama di kalangan Gen Z yang sangat terhubung dengan gadget mereka. Gen Z, sebagai generasi digital, sering menunjukkan perilaku seperti memiliki akun media sosial kedua (second account) untuk menampilkan kepribadian yang sebenarnya. Fenomena ini menunjukkan adanya masalah kepercayaan diri.
Gen Z, yang terdiri dari 30% populasi dunia, dianggap sebagai generasi yang akan mendominasi dunia kerja pada tahun 2025. Mereka dikenal menghargai otonomi, mengedepankan transparansi, menyukai tantangan, dan fokus pada keseimbangan kerja dan kehidupan pribadi. Namun, mereka juga menunjukkan ketidaknyamanan dengan pengawasan yang ketat dan lebih memilih model manajemen yang fleksibel.
Di sisi positif, media sosial memfasilitasi Gen Z dalam hal koneksi sosial, pembelajaran, dan dukungan online. Mereka menggunakan platform digital untuk mendapatkan informasi, terlibat dalam kegiatan sosial, dan mengekspresikan diri melalui berbagai konten yang dibagikan. Namun, ada juga risiko seperti cyberbullying dan konten negatif yang dapat merusak kesehatan mental mereka.
Tantangan Kesehatan Mental Gen Z
Akademisi Psikologi Universitas Diponegoro, Hastaning Sakti mengingatkan bahwa setiap orang memiliki masanya di kehidupannya, sehingga tidak bisa memberikan cap bahwa gen z merupakan generasi yang lemah. “Jika gen z di dalam keluarganya yang masih hidup eyang dan orang tuanya, mereka harus menyesuaikan dengan generasi sebelumnya dan untuk generasi yang akan datang yaitu generasi alpha di mana generasi ini lebih melek lagi terhadap digital” paparnya.
Jika berbahasa atau menyampaikan sesuatu antar generasi juga berbeda dan terus berkembang di setiap generasinya. “Gen Z menggunakan cara komunikasi dan cara berbahasanya dengan lebih cepat dan praktis, sehingga muncul berbagai singkatan-singkatan baru yang didukung dengan adanya sosial media yang memudahkan untuk komunikasi, jadi tidak jarang sering terjadi gap generasi dalam komunikasi” tegasnya.
Ciri generasi digital bisa dilihat pada seseorang yang memiliki lebih dari satu kepribadian. Bisa dilihat dari kebanyakan Gen Z ini memiliki 2nd account di media sosial, di mana dalam akun tersebut bisa menunjukkan jati diri yang sesungguhnya sementara aku satunya untuk ekspresi tentang dirinya yang lain. Hal ini dianggap sebagai refleksi ketidakpercayaan diri di kalangan mereka untuk mendefinisikan siapa mereka.
Kemudian perilaku minim etika tidak jarang terlihat generasi muda ini berani memaki orang lebih tua di media sosial walaupun mereka tidak saling kenal. Berbagai permasalahan yang berkembang di kalangan remaja Indonesia saat ini adalah seks bebas, fenomena pernikahan tanpa ikatan resmi atau kumpul kebo semakin marak di kalangan anak muda saat ini. Perilaku ini menjadi perhatian serius, karena berkaitan dengan degradasi moral dan sosial.
Tak hanya itu, masalah kecanduan rokok dan narkoba di kalangan remaja juga meningkat, terutama di lingkungan pendidikan. Mirisnya, keberadaan minuman keras (miras) di sekitar area pendidikan juga turut menyumbang masalah ini, tentu diperlukan kerja sama dengan pihak perguruan tinggi untuk mengatasi masalah ini. Masalah interpersonal pun kerap dialami mahasiswa, seperti konflik dengan pacar, toxic relationship, konflik dengan keluarga dan berbagai masalah lainnya.
Obesitas dan gangguan mood seperti depresi atau kecemasan menjadi masalah kesehatan yang sering ditemukan di kalangan remaja dan mahasiswa. Kemudian tingginya angka mahasiswa yang putus sekolah atau mengambil cuti tanpa alasan jelas menjadi perhatian, karena ini menunjukkan adanya problem akademis yang serius.
Kurangnya keterbukaan dan komunikasi antara orang tua dan anak menjadi salah satu faktor yang memengaruhi cara berpikir remaja. Hasting menekankan pentingnya mendidik anak sesuai dengan zamannya, karena mereka hidup di dunia yang berbeda dengan generasi sebelumnya.
Hastaning menyinggung istilah seperti generasi strawberry di mana menggambarkan generasi yang dianggap rapuh, namun perlu dipahami bahwa berkembang dalam konteks zaman yang berbeda. “Dilihat dari populasi penduduk di Indonesia, gen z menempatkan 29% populasi di Indonesia. Artinya gen z akan menjadi generasi emas mendatang, jadi penting untuk gen z ini mengembangkan skillnya” tegasnya.
Penggunaan Media Sosial yang Bijak
Aurora Ardina Fawwaz, seorang Peer Counselor dari “Kita Teman Cerita,” menambahkan bahwa media sosial sering kali membangun standar yang tidak realistis mengenai pencapaian dan penampilan fisik. Ini dapat menyebabkan perasaan tidak berharga dan tekanan untuk memenuhi ekspektasi yang tidak selalu realistis. Salah satu dampak negatif yang paling umum dari penggunaan media sosial adalah cyberbullying, di mana seseorang bisa diserang secara verbal atau dijadikan target pelecehan.
Untuk mengatasi masalah ini, penggunaan media sosial yang bijak sangat diperlukan. Menetapkan batasan dalam penggunaan, seperti membatasi screen time, menentukan tujuan yang jelas dalam menggunakan media sosial, dan berhati-hati dalam memberikan komentar, merupakan beberapa langkah yang bisa diambil untuk menjaga kesehatan mental.
BEM Fakultas Psikologi UNDIP memiliki program bernama “Kita Teman Cerita,” yang menyediakan layanan konseling gratis dan psikoedukasi tentang kesehatan mental. Program ini bertujuan untuk memberikan dukungan kepada mahasiswa dan masyarakat yang mengalami masalah kesehatan mental. Dengan menggunakan prinsip Psychological First Aid, program ini bertujuan untuk memberikan pertolongan pertama bagi mereka yang berada dalam situasi krisis.
Gen Z sering dihadapkan dengan tekanan sosial dan digital, namun dengan kesadaran akan kesehatan mental dan dukungan yang tepat, mereka memiliki potensi besar untuk berkembang menjadi generasi yang kreatif, inovatif, dan empati. Pemerintah dan lembaga pendidikan perlu lebih fokus dalam memberikan dukungan kesehatan mental, termasuk menerapkan kebijakan yang melindungi generasi muda dari risiko kesehatan mental yang lebih besar.