Universitas Diponegoro

Prof Rhenald Kasali: Generation Gap Tantangan Perguruan Tinggi Hasilkan SDM Unggul

SEMARANG Generation gap atau kesenjangan antara generasi lama yang jadul dengan generasi baru yang algoritmik menjadi tantangan bagi perguruan tinggi dalam menghasilkan sumber daya manusia (SDM) yang unggul. Kesenjangan terlihat saat kita melihat banyaknya anak muda dari generasi baru ahli dalam soal teknologi namun minim dalam soal attitude, sebaliknya generasi lama yang memiliki keungulan dalam hal attitude minim skill-nya.

Hal tersebut dinyatakan Prof Rhenald Kasali PhD dalam Orasi Ilmiahnya berjudul “Pembangunan SDM yang Unggul Dalam Upaya Pengentasan Kemiskinan dan Ketahanan Pangan” yang digelar dalam rangka Dies Natalis ke-67 Tahun Universitas Diponegoro (UNDIP) di Muladi Dome Tembalang Semarang. “Inilah yang menjadi persoalan penting yang harus dipahami Bersama,” kata Rhenald Kasali, Senin (15/10/2024).

Diungkapkan, beradasarkan data BPS (Badan Pusat Statistik), ada sebanyak 9,9 juta anak remaja yang dikatagorikan not of education, not training, not of employment. Artinya, masih ada generasi muda sekarang yang skill atau ketrampilannya jadul, tidak dilatih, namun attitude-nya juga rendah. Mereka hanya bisa main game online dan kegiatan sejenisnya. Meman gada generasi baru yang meski tidak dilatih namun bisa berkerja secara mandiri sebagai wirausaha dan memilih berhenti sebagai bekerja. Pada ruang inilah kampus atau perguruan tinggi harus mengambil peran dalam pertukaran pengetahuan dan keahlian melahirkan generasi baru yang unggul.

“Jadi dosen-dosen bisa mengajarkan anak-anak atau mahasiswa soal etos kerja, disiplin, loyal dan leadership. Sebaliknya dosen juga mau belajar soal teknologi dari anak-anak atau mahasiswa. Anak-anak juga harus belajar disiplin dari generasi sebelumnya,” kata Prof Rhenald Kasali yang juga guru besar bidang Ilmu manajemen di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI).

Prof Kasali berpendapat, gabungan hasil pertukaran antara generasi lama dan baru inilah yang bisa menghasilkan SDM dengan skill dan produktivitas yang tinggi. Namun ini menjadi tantangan tersendiri karena banyak perguruan tinggi yang hanya tertarik pada pengembangan pengetahuan.  Dia mengingatkan itu sebagai tugas pendidikan tinggi. Yakni “Bbagaimana membentuk mahasiswa kita atau anak-anak kita agar memiliki etos kerja yang produkti”.

Dalam konteks pengentasan kemiskinan, perlu didorong suasana kerja yang produktif dengana melakukan inovasi-inovasi. Orang-orang muda yang hari ini produktif membutuhkan pekerjaan yang balance dalam artiaan memberi penghasilan yang sepadan namun sesuai dengan passion orang muda sekarang.

Sebagai negara dengan biodiversitas atau keanekaragaman hayati kedua terbesar di dunia setelah Brazil, Indonesia sejatinya memiliki sumber kebahagiaan yang lengkap. Bukan hanya pangan segar (fresh food) yang kita miliki, namun juga sumber kebahagiaan lain seperti udara yang segar (fresh air) dan air yang segar (fresh water).

“Ini adalah hal yang membanggakan, tetapi kalau ini kita tidak bijak melakukan pembangunan ekonomi, yang terjadi satu-persatu (biodiversitas) kita akan hilang. Kita pernah mengenal Karawang sebagai lumbung padi di Jawa Barat, tapi kali ini telah menjadi kawasan industri. Selain itu kita menyaksikan banyak ular di sawah tetapi hari-hari ini ular kita dibunuh. Padahal ular itu, makan tikus yang menjadi hama,” urainya.

Masalah pangan menjadi serius karena bumi yang selayaknya hanya dihuni 3 milyar jiwa, saata ini sudah dipadati 8,3 miliar manusia. Bumi yang kita tidak semuanya daratan, 70% adalah lautan, sementara yang berupa daratan pun tidak semuanya bisa dihuni karena berujud padang pasir, hutan serta merupakan kawasan-kawasan yang harus dilindungi. “Saudara-suadara, maka inilah yang menjadi hambatan-hambatan, kita juga menyaksikan budaya pertanian semakin menurun. Dua hari yang lalu saya perjalanan Bandung- Jakarta bertemu dengan petani kopi yang punya luas kebun kopi 18 hektar. Saya tanya siapa yang bekerja, jawabnya adalah rata-rata orang tua,” ujar akademisi yang banyak menulis buku ini.

Kasali merasa prihatin dengan kondisi Perkebunan kopi yang belum lama ini dilihatnya karena permintaan kopi Indonesia baik dari dalam maupun dari luar negeri sangat besar. Sayangnya, sektor pertanian dan perkebunan mulai kesulitan mendapatkan SDM karena anak-anak D1, D2 di desa lebih senang bekerja selain bidang pertanian. Contohnya di Bali, banyak generasi baru yang memilih bekerja di kapal pesiar ketimbang bertani sehingga ketahanan pangan Bali terganggu. Untungnya ada Banyuwangi dekat dengan Bali yang menghasilkan cabai atau lombok yang berlebih sehingga bisa dikirim ke Bali.

Masalah sumber daya manusia kalangan muda menjadi tantangan kita semua, dunia telah mengalami talent shortage yaitu situasi dimana banyak badan usaha serta lembaga yang kesulitan mendapatkan pegawai atau karyawan dengan ketrampilan sesuai yang dibutuhkan. Akibatnya, kebutuhan SDM banyak yang tidak terpenuhi, dan itu nyata.

Persoalan tersebut dihadapi semua negara, tidak hanya Indonesia. Karena itulah penyiapan SDM unggul dalam upaya pengentasan kemiskinan dan membangun ketahanan pangan menjadi tugas kita semua. “Tetapi percayalah, manusia adalah makluk yang berfikir, mahluk yang mengunakan alat dan mencara solusi dan berinovasi. Maka dari itulah, tugas kita sebagai perguruan tinggi adalah mendidik anak-anak kita mau berfikir bukan menghafal, bukan mengetahui rumus tetapi kemampuan berfikitr dan tentu saja berfikir tentang hal-hal baru mencari ekplorasi dan sebagainya,” jelas Prof. Rhenald di akhir orasi ilmiahnya. (***)

Share this :
Exit mobile version