Psikolog UNDIP Ingatkan Potensi Gangguan Psikologis di Masa Pandemi Covid-19

SEMARANG – Terjadinya wabah atau pandemi Covid-19 yang menuntut terjadinya perubahan perilaku di masyarakat, potensial menyebabkan gangguan psikologis yang serius dan mengancam produktivitas masyarakat. Dekan Fakultas Psikologi Undip, Dian Ratna Sawitri SPsi MSi PhD, mengatakan potensi gangguan psikologis perlu mendapat perhatian khusus.

Menurut dia, perubahan perilaku terkait pandemik secara umum dibagi menjadi tiga. “Ada perubahan perilaku yang disebut protective behavior, preparedness behavior dan perverse behavior. Ketiga perubahan perilaku tersebut  masing-masing memiliki implikasi yang bisa berujung pada gangguan psikologis,”katanya, Jumat (11/12/2020). 

Sebagai gambaran positif Covid-19 di Indonesia sampai Kamis (10/12/2020) mencapai 598.033 kasus, dan jumlah orang terinfeksi di dunia sebanyak 69 juta orang, dengan angka kematian 1,5 juta lebih mendorong Badan Kesehatan Dunia, WHO mengumumkan situasi darurat kesehatan masyarakat secara internasional. Konsekuensinya, terjadi pembatasan social seperti kegiatan sekolah dan universitas berubah menjadi study from home, dibatasinya aktivitas perkantoran menjadikan munculnya work from home. Juga kebijakan penutupan tempat hiburan dan pariwisata yang berpengaruh pada melonjaknya pengangguran akibat pemutusan hubungan kerja.

Pada awalnya, kata Sawitri, masyarakat dapat menerima pembatasan, bersabar dan berharap keadaan segera pulih.Namun, ketika situasi wabah menjadi berkepanjangan, masyarakat gelisah hingga muncul beragam gangguan psikologis yang bisa dikelompokkan dalam tiga pola.

Kelompok pertama, protective behavior, adalah tindakan yang dilakukan individu untuk memenuhi aturan kesehatan dalam rangka menghentikan penyebaran penyakit. Protective behavior mencakup personal hygiene dan social distancing. Personal hygiene diwujudkan berupa tindakan seperti menggunakan masker, mencuci tangan, menghindari makan di luar rumah, menyemprot desinfektan, memastikan kecukupan ventilasi udara di dalam ruangan. Sedangkan social distancing dilakukan dengan menjaga jarak untuk menghambat penyebaran virus, menghindari kerumunan dan menunda bepergian.

Dalam konteks tertentu, social distancing juga diwujudkan dalam tindakan melakukan karantina mandiri ketika menyadari bahwa dirinya berinteraksi dengan suspek dan/atau pihak yang terinfeksi Covid-19 atau karena baru melakukan perjalanan jauh menggunakan angkutan umum. 

Pembatasan hubungan sosial dan karantina, menurut Sawitri,dapat menimbulkan berkurangnya aktivitas fisik, munculnya perasaan sedih, terisolasi, bosan dan kesepian. Kondisi itu, katanya mengutip Safai dan Sganga, membuka peluang meningkatnya prevalensi depresi, konsumsi alkohol dan obat-obat terlarang, adiksi atau kecanduan internet, dan kekerasan dalam rumah tangga.

Dia mengungkapkan, penyesuaian diri dalam pekerjaan seperti mempelajari hal baru dan menghadapi perubahan yang cepat, sering terjadi, dan drastic bias menimbulkan implikasi yang serius. Bentuknya bisa berupa menurunnya kepuasan kerja, bahkan meningkatnya burnout yaitu kondisi kelelahan fisik, mental, dan emosi yang dialami seseorang karena stress berlebihan dan berkepanjangan.

Penerapan work from home juga bukan hal yang sederhana. Diperlukan penyesuaian dengan situasi dan penghuni rumah. Apalagi bagi yang memiliki anak usia sekolah, melakukan pendampingan terhadap anak yang sedang menghadapi situasi belajar yang baru sembari melakukan pekerjaan dari rumah sekaligus tak jarang membuat over exhausted(teler) dan tertekan. 

Perubahan perilaku kedua, preparedness behavior, yaitu perilaku yang ditujukan untuk memastikan ketersediaan sumber daya yang dibutuhkan individu untuk dapat melakukan respon yang tepat dalam rangka menghambat dan menghentikan penyebaran virus. Misalnya mencari informasi yang relevan tentang distribusi kasus, jumlah orang yang terinfeksi, intervensi yang telah dilakukan pemerintah, membeli hand sanitizer, masker, face shield, serta kebutuhan sehari-hari. 

Diingatkan, mencari informasi seputar pandemic adakalanya membuka peluang munculnya kebingungan, ketidakpastian, dan kegelisahan.Reaksi menjadi serius pada individu yang memiliki kepribadian pencemas, apalagi yang telah memiliki gangguan psikologis terkait kecemasan seperti takut terinfeksi virus, takut berkontak dengan objek yang diduga dapat menularkan virus, takut terhadap orang asing. Akan muncul perilaku kompulsif seperti cuci tangan yang berlebihan, selalu membersihkan benda-benda yang akan disentuh, dan menyemprotkan disinfektan meski kondisi biasa. 

Perubahan perilaku ketiga yang disebut perverse behavior adalah perilaku yang berbeda dari yang dianggap normal oleh masyarakat, seperti menghindari kunjungan ke rumah sakit dan terobsesi membeli obat-obat anti virus sendiri. Kajian literatur yang dilakukan Usher dkk (2020) memberi gambaran, meskipun ketiga perubahan perilaku tersebut merupakan respon yang berkontribusi dalam menghambat penyebaran virus corona, ketiganya berkorelasi positif dengan meningkatnya kecemasan, meningginya kekhawatiran, dan semakin intensnya stres yang dialami individu.

Dekan Fakultas Psikologi Undip ini menyarankan agar ada penanganan khusus terhadap perubahan perilaku dan kondisi sosial akibat pandemi Covid-19. Perlu dilakukan mitigasi pengaruh pandemic terhadap kesehatan mental masyarakat. 

Share this :

Category

Arsip

Related News