UNDIP, Semarang (03/07) — Universitas Diponegoro menjadi tuan rumah Kunjungan Kerja Spesifik Komisi X DPR RI Bidang Kebudayaan dalam rangka mendalami pandangan dan menghimpun masukan dari akademisi, seniman, sejarawan, dan budayawan terhadap proses penulisan ulang Sejarah Indonesia.
Kunjungan kerja ini merupakan bagian dari fungsi pengawasan Komisi X DPR RI terhadap pelaksanaan kebijakan kebudayaan nasional, khususnya upaya penulisan ulang Sejarah Indonesia yang diinisiasi oleh Kementerian Kebudayaan. UNDIP dipilih sebagai lokasi dengar pendapat karena memiliki jumlah profesor sejarah terbanyak dibandingkan universitas lain di Indonesia.
Bertempat di Ruang Sidang Rektor, Gedung Widya Puraya, Kampus UNDIP Tembalang, forum ini menjadi ruang dialog interaktif antara legislator, guru besar sejarah FIB UNDIP, akademisi, perwakilan komunitas budaya dan sejarah, hingga Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Jawa Tengah.
Dalam sambutannya, Rektor UNDIP, Prof. Dr. Suharnomo, S.E., M.Si., menyampaikan apresiasi atas kunjungan ini. “Kami terhormat menerima kunjungan Komisi X DPR RI. Ini bukan sekadar seremoni, tetapi forum penting bagi dialektika ilmiah. UNDIP berkomitmen menjaga integritas sebagai penjaga moral, penyampai kebenaran, dan kontributor dalam pembangunan identitas sejarah bangsa. Saya juga mengapresiasi sumbangan para guru besar Fakultas Ilmu Budaya UNDIP dalam kegiatan ini ” ujarnya.
Prof. Suharnomo juga memperkenalkan peran strategis UNDIP dalam pengembangan pendidikan tinggi di Indonesia, seperti kontribusi dalam proyek teknologi desalinasi air dan pembangunan hybrid sea wall berbasis ekologi di pesisir Jawa Tengah. “UNDIP mengerahkan 15 profesor terbaik untuk memastikan proyek ini tidak hanya kuat secara teknis, tetapi juga ramah lingkungan,” tambahnya.
Sementara itu, Ketua Tim Kunjungan Komisi X DPR RI, Hj. Himmatul Aliyah, S.Sos., M.Si., menegaskan bahwa penulisan sejarah harus mencerminkan keragaman suara dan pengalaman bangsa Indonesia. “Sejarah bukan milik segelintir pihak, tetapi milik seluruh rakyat Indonesia. Maka, proses penulisan ulang ini harus terbuka, ilmiah, dan partisipatif dengan melibatkan akademisi, sejarawan, budayawan, hingga komunitas lokal,” tegasnya.
Himmatul juga menjelaskan bahwa proyek besar ini akan menghasilkan 11 jilid buku, mencakup sejarah Indonesia dari era awal Nusantara hingga Reformasi (1999–2024). Lebih dari 113 penulis dan 20 editor dari berbagai latar belakang telah dilibatkan. Tidak hanya aspek politik, sejarah ini juga akan merekam kebudayaan, HAM, musik, agama, hingga gaya hidup.

Anggota Komisi X DPR RI, Prof. Dr. Ir. H. Furtasan Ali Yusuf, S.E., S.Kom., M.M., menambahkan bahwa pemilihan UNDIP sebagai mitra diskusi bukan keputusan sembarangan. “Kami tahu UNDIP punya kapasitas dan integritas akademik, dengan para guru besar sejarah yang memiliki kompetensi dan kredibilitas tinggi serta berpengaruh dalam penulisan sejarah,” katanya.
Dalam sesi diskusi panel, Prof. Dr. Alamsyah, M.Hum., Dekan Fakultas Ilmu Budaya UNDIP, menegaskan pentingnya pendekatan multiperspektif dalam penulisan sejarah. “Kita harus meninggalkan narasi tunggal yang menafikan kekayaan lokal. Sejarah adalah mosaik pengalaman kolektif, bukan produk satu suara. Sebagai institusi pendidikan tinggi, UNDIP berkepentingan memastikan bahwa penulisan sejarah dilakukan secara objektif, ilmiah, dan representatif terhadap keragaman bangsa Indonesia,” jelasnya.
Senada dengan itu, Prof. Dr. Singgih Tri Sulistiyono, M.Hum., Guru Besar Sejarah UNDIP, mengingatkan bahwa historiografi nasional selama ini cenderung sentralistik. Ia mengusulkan penguatan narasi maritim, komunitas adat, dan kontribusi perempuan dalam sejarah. “Rekonstruksi sejarah harus menjawab tantangan disinformasi, manipulasi sejarah, dan rendahnya literasi generasi muda,” katanya.
Dalam kesempatan ini Wakil Rektor IV UNDIP Bidang Riset, Inovasi, Kerja Sama dan Komunikasi Publik, Dr. Wijayanto, M.Si., Ph.D., juga turut memberikan masukan substantif dalam forum tersebut, khususnya terkait penyusunan draft buku sejarah nasional. Ia menyoroti secara khusus Chapter 10 yang membahas situasi demokrasi Indonesia pasca reformasi. Menurutnya, sejak reformasi politik 1998, kondisi demokrasi Indonesia masih berada pada fase transisi yang berkepanjangan dan sejatinya masih jauh dari kategori demokrasi yang terkonsolidasi.
Dari sisi pemerintah, perwakilan Kementerian Kebudayaan RI menyampaikan bahwa proyek penulisan ini merupakan bagian dari kerja kebudayaan, bukan hanya teknis. Buku sejarah yang disusun dalam 11 jilid ini adalah program strategis yang mencakup pemutakhiran data, pengayaan, dan pembaruan dari edisi sebelumnya yang terakhir diterbitkan pada masa Presiden Habibie. Penulisan ini tidak bertujuan menghapus, tetapi memperkaya dan menyempurnakan catatan sejarah bangsa.
“Sejarah memiliki peran penting dalam membentuk identitas kolektif bangsa. Dengan semangat keterbukaan dan akuntabilitas, kami melibatkan lebih dari 100 akademisi, budayawan, dan sejarawan dari berbagai latar belakang dan wilayah, disertai dengan uji publik dan pendekatan ilmiah sebagai fondasinya. Ini merupakan upaya kolektif yang menjunjung tinggi integritas akademik,” ujar perwakilan Kementerian.
Diskusi berlangsung aktif, penuh refleksi kritis, dan menghasilkan sejumlah rekomendasi awal yang akan dirumuskan lebih lanjut sebagai masukan bagi Kementerian Kebudayaan. Komisi X DPR RI menegaskan akan membawa catatan-catatan dari UNDIP ke pemerintah pusat sebagai kontribusi konkret dunia akademik.
Kunjungan ini menegaskan peran UNDIP sebagai pusat keunggulan intelektual sekaligus mitra strategis negara dalam merawat memori kolektif bangsa. Melalui forum terbuka dan kolaboratif ini, diharapkan lahir narasi sejarah nasional yang jujur, berimbang, dan membumi—menjadi sejarah yang mencerminkan identitas Indonesia yang berdaulat, berbudaya, dan beradab. (Komunikasi Publik/UNDIP/DHW; Ed. Nurul Hasfi)
