SEMARANG — Departemen Perencanaan Wilayah dan Kota (PWK) Fakultas Teknik Universitas Diponegoro (FT UNDIP) bersama Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia (IAP) Jawa Tengah menggelar diskusi bertajuk “Rembug Gayeng IAP Jateng # 18”. Sabtu (8/5/2021). Dalam diskusi yang dilakukan secara online tersebut, hadir sebagai pembicara Prof Sudharto P. Hadi (Guru Besar Perencanaan dan Manajemen Lingkungan Undip); Dr. Oswar Mungkasa dari Bappenas; serta Lia Zakiyyah dari Climate Resilience.
Pada momentum tersebut juga dilakukan launching buku berjudul “Ketahanan Iklim Perkotaan: Konsep, Praktik, Instrumen, dan Tata Kelola”. Buku tersebut merupakan hasil kerja sama antara Departemen PWK FT Undip dengan CURE (Center for Urban and Regional Resilience Research) FT Undip, Ikatan Ahli Perencanaan (IAP) Jawa Tengah, Inisiatif Kota Untuk Perubahan Iklim (IKUPI) dan Institute for Global Environmental Strategies AIGIS Jepang.
Buku yang terdiri dari 4 Bagian dan 16 Bab itu merupakan hasil penelitian dari pekerjaan perencanaan yang terkait dengan kebijakan dan aksi ketahanan Kota Semarang selama satu dekade (2011-2021). Ada 20 orang yang terlibat langsung dalam penyusunan buku tersebut, di antaranya Wiwandari Handayani, Rukuh Setiadi, Raka Suryandari dan Tia Dianing Insani yang berperan sebagai editor.
Dr. Wiwandari Handayani, editor utama dan Ketua Departemen PWK FT Undip, saat membuka acara menyampaikan alasan penulisan buku, yaitu untuk menyediakan akses terhadap pembelajaran hasil penelitian dan pekerjaan perencanaan yang terkait dengan kebijakan dan aksi ketahanan Kota Semarang selama satu dekade (2011-2021). Wiwandari menyebut, konsep ketahanan kota (city resilience) yang digunakan adalah suatu kondisi di mana kota memiliki kapasitas seperti daya lenting yang cukup untuk menghadapi berbagai gangguan yang dialaminya salah satunya adalah akibat perubahan iklim.
Terwujudnya ketahanan kota sendiri, menurut dia, sangat dipengaruhi oleh bagaimana pemahaman multidimensi atau multisector, serta keterlibatan berbagai pemangku kepentingan dapat diakomodasi dalam setiap tahapan perencanaan dan pembangunan kota.
Para editor dan penulis buku “Ketahanan Iklim Perkotaan: Konsep, Praktik, Instrumen, dan Tata Kelola” berharap dapat memberikan sudut pandang keilmuan dan praktis tentang pentingnya ketahanan kota dalam menghadapi perubahan iklim dan berkontribusi pada peningkatan kapasitas berbagai aktor yang terlibat di dalamnya. Dinyatakan juga bahwa buku ini penting untuk diterbitkan karena bencana akibat perubahan iklim cenderung terus terjadi dengan frekuensi yang meningkat dan menghasilkan kerugian yang cukup signifikan. Salah satu faktor pendorongnya adalah urbanisasi yang terus terjadi secara pesat.
Selaku editor utama sekaligus Ketua Departemen PWK Undip, Dr. Wiwik menyampaikan selamat kepada Semarang yang tiga tahun berturut-turut menjadi Juara Pertama Nasional “Perencana Pembangunan Daerah” menjadi Juara 1 Nasional oleh Bappenas.
Prof. Sudharto P. Hadi, membuka presentasinya dengan mengutip Pramoedya Ananta Toer yang mengatakan bahwa menulis buku adalah bekerja untuk keabadian. Prof Dharto juga mengingatkan bahwa buku yang ditulis ini akan menjadi legacy untuk dosen, perencana, mahasiwa perencanaan wilayah dan kota khususnya terkait dengan bagaimana menghadapi tantangan perubahan iklim.
Profesor yang sehari-hari mengajar di program ilmu lingkungan Sekolah Pasca Sarjana UNDIP ini mengatakan, ketika banyak bencana terkait lingkungan terjadi maka carrying capacity (kemampuan lingkungan mendukung perikehidupan manusia, makhluk hidup lain dan keseimbangan diantara keduanya) sebenarnya sudah terlampaui. Beberapa tekanan yang diberikan penduduk terhadap lingkungan adalah kebutuhan infrastuktur dan pola konsumsi. Terkait dengan perubahan iklim maka gangguan yang dialami Semarang adalah makin sering dan makin masifnya volume rob (tidal flood) yang dialami di kawasan pesisir.
Untuk dapat menangani masalah ini penting sekali upaya yang diarahkan pada menangani sumber masalah. Misalnya terkait banjir jangan hanya meningkatkan kapasitas tamping, tapi juga perlu mengurangi volumenya, jadi mengatasi masalah dari hulu. Upaya penanganan reaktif dan menangani fenomena perlu diantisipasi dengan yang sifatnya antisipatif dan dari sumbernya.
Disampaikan juga bahwa respon dari komunitas sebagai adaptasi dan mitigasi sebenarnya sudah dilakukan komunitas bahkan sebelum masalah ini menjadi gawat belakangan ini. Misalnya carpool atau upaya mengepul kendaraan di satu tempat kemudian bersama-sama ke pusat kota menggunakan kendaraan publik atau naik mobil bersama-sama seperti yang dilakukan komunitas nebeng, ini semua bermanfaat mengurangi beban kota dan penting dilakukan terus.
Sementara itu Dr. Oswar Mungkasa memberikan masukan perlunya membuat benang merah yang lebih kuat agar rangkaian setiap bab dalam buku lebih terlihat. Oswar menyarankan untuk lebih berani mengungkap pembelajaran penting yang diperoleh dari berbagai proyek yang ditampilkan dalam buku. Beberapa pembelajaran penting adalah mengusung kolaborasi, yang dalam konteks Kota Semarang bisa dilihat dari peran beberapa lembaga seperti Dewan Pertimbangan Perubahan Kota Semarang.
Dia melihat sebenarnya pemerintah dan masyarakat membutuhkan organisasi semacam IKUPI yang berfungsi sebagai fasilitator dan kolaborator yang mempertemukan pendekatan bottom up dan top down. Keterlibatan dari berbagai pihak terlihat manfaatnya karena Semarang berhasil mengarusutamakan ketahanan terhadap perubahan iklim.
Tantangan ke depan adalah membuat tata kelola kolaboratif terus berjalan tanpa bergantung pada figur. Juga bagaimana manajemen pengetahuan bisa dilakukan karena Semarang sudah memulai hal ini sejak 2009, lebih dulu dari kota lain.Oswar menilai Kota Semarang bisa menjadi laboratorium kota berketahanan, sebagai center of excellence. “Perlu mengkoleksi semua data, menganalisisnya dan mendistribusikan agar dapat meningkatkan pengetahunan secara kontekstual kepada semua pihak terkait.”
Pembelajaran lain adalah pemberian ruang untuk uji coba dan meningkatkan kapasitas serta ragam pilihan kegiatan bagi masyarakat untuk mengatasi perubahan iklim. Di Semarang perubahan iklim bukan lagi merupakan sesuatu yang menakutkan, sesuatu yang bisa ditangani masyarakat. Kalau ini dapat dilakukan maka berbagai pihak yang ingin belajar masalah ketahanan kota dapat datang ke Semarang “seeing is believing”, mau lihat kota berketahanan, datang saja ke Semarang. (tim humas)