, ,

Prodi Sastra Indonesia UNDIP Berkolaborasi dengan Kethoprak Balekambang Pentaskan Penangsang Gugur

Kelompok Kethoprak Balekambang sudah lama aktif di Surakarta melestarikan tradisi lisan dengan pertunjukan-pertunjukan tradisional. Pada 17 Desember 2022 Ketoprak Balekambang berkolaborasi dengan akademisi dari Prodi Sastra Indonesia Universitas Diponegoro. Dengan maksud menyambung silaturahim baik dalam dunia kesenian, kebudayaan, dan pendidikan kultural pementasan berjudul Penangsang Gugur pun digarap secara kolaboratif.

Pementasan ini mengambil nilai-nilai tradisi yang memang sudah ada dalam proses kelahiran nusantara. Salah satu nilai penting dalam penerapan pementasan ini adalah pergerakan sutradara dari babak ke babak, menihilkan teks sebagai pegangan yang biasa digunakan tokoh-tokohnya. Ketoprak sebagai salah satu wujud tradisi lisan tidak jauh berbeda dengan Ludruk yang mana di dalamnya teks adalah logika para pemain itu sendiri. Sutradara hanya menyediakan konsep secara garis besar yang dituangkan pemain-pemainnya dalam dialog bebas. Hanya saja, syarat penting dalam dialog bebas ini tidak boleh keluar dari alur.

Menerapkan hal itu, pementasan berjudul Penangsang Gugur bermaksud menceritakan kembali kisah Haryo Penangsang dalam sejarah kanon yang ada. Haryo Penangsang dikenal sebagai pemimpin yang menghidupi wilayah pesisir dengan tangan besi. Namun demikian, tidak banyak yang tahu kalau ada sisi-sisi tersembunyi dari kepemimpinan Haryo Penangsang yang bisa disetarakan dengan konsep Wali Mansur. Wali Mansur biasanya dikenal sebagai pemimpin yang seringkali mengambil keputusan singkat, otoriter, dan terkesan membuat rakyat sengsara padahal sejatinya memantik adanya timbal balik, baik dalam bentuk positif ataupun negatif. Timbal balik ini berkaitan dengan apapun yang menjadi kebijakannya. Hal ini ditegaskan oleh kedekatan Haryo Penangsang dengan Sunan Kudus.

Menjadi antitesis dari Haryo Penangsang, hadir seorang murid Sunan Kudus yang juga raja dari Pajang bernama Hadi Wijaya. Raja ini memiliki ambisi untuk mengalahkan Haryo Panangsang. Sebagai antitesis, ia juga membungkus dirinya dengan kelemahlembutan, namun jiwa-jiwa licik bersemayam dalam dirinya dan adipatinya. Sehingga itu membuatnya penuh keraguan, apakah ia sanggup melakukannya.

Sebagaimana moral dasar dari sebuah antitesis, ketika dilawan ia akan melawan. Nahas memang, Hadi Wijaya yang sudah sepuh harus mencari tokoh lain untuk mengakhiri riwayat Haryo Penangsang. Sebuah sayembara diadakan, tetapi tak ada satupun ksatria yang cocok dan dianggap sanggup untuk membunuh Haryo Panangsang. Tiba-tiba Pemanahan menunjuk Danang Suto Wijoyo dan Wasis, dua putra Hadiwijaya, untuk meneruskan ambisi romonya. Meskipun harus ketakutan, Danang Sutowijoyo mampu menusukan tombak agung ke perut Haryo Panangsang yang membuat salah satu pembesar wilayah pesisir Jawa terkulai dan gugur.

Pementasan ketoprak Balekambang bersama akademisi Prodi sastra Indonesia Undip meromantisasi tragedi dalam kisah-kisah Jawa. Hal ini sekaligus menjadi metode untuk menyentuh tradisi lisan secara langsung. Pementasan ini sendiri telah disaksikan secara luring di Graha Wisata Niaga dan secara daring melalui channel YouTube BALKAM TV. Ketua Prodi Sastra Indonesia, Dr. Sukarjo Waluyo, M.Hum., melihat pementasan ini sebagai cara untuk mendekatkan para akademisi dengan objek budaya yang masih hidup. Salah satu objek yang disoroti di sini adalah tradisi lisan. Menanggapi hal ini, Ketoprak Balekambang pun berharap para akademisi dari Undip akan terus ikut hadir dan menghidupkan pementasan ketoprak pada ranah-ranah yang beragam. (Hamdan)

-sumber: sastraindonesia.fib.undip.ac.id

Share this :

Category

Arsip

Related News