Semarang – Guru besar Ilmu Lingkungan Universitas Diponegoro (UNDIP), Prof Sudharto Prawata Hadi MES PhD, menilai stimulus fiskal yang diberikan pemerintah sebagai respons atas pandemi Covid-19 masih diperuntukkan untuk sektor yang berkontribusi emisi rumah kaca. Stimulus fiskal belum mendukung sektor ekonomi yang berkelanjutan.
Pada Webinar internasional yang diprakarsasi Program Doktor Ilmu Lingkungan (DIL) Sekolah Pasca Sarjana Undip dengan mengangkat “Climate Change in the Mist of Covid-19 and Job Creation Law“, Prof Sudharto menilai insentif yang masih diperuntukkan pada sektor yang potensial berkontribusi pada produksi emisi rumah kaca akan mempengaruhi komitmen pencapaian Indonesia dalam adaptasi perubahan iklim. “Penyederhanaan pemberian izin akan menstimulasi degradasi lingkungan dan sumber daya alam,”kata Sudharto P Hadi.
Dikatakan, kehadiran Undang-Undang No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja juga dinilai bisa mengancam pencapaian komitmen Indonesia dalam adaptasi perubahan iklim. Dunia saat ini sedang menghadapi fenomena pemanasan global (global warming) yang berakibat pada perubahan iklim (climate change) karena atmosfer bumi dipenuhi oleh gas rumah kaca (GRK) seperti karbon dioksida dan metana, yang dihasilkan oleh manusia.
Menyitir penanganan banjir di Semarang sebagai contoh kasus, Sudharto menyebutkan Semarang yang berada di pinggir pantai sudah baik dalam menangani banjir dan peningkatan genangan sebagai salah satu risiko perubahan iklim. Akan tetapi belum menyasar pada penyebab banjir yaitu land subsidence (penurunan muka tanah) yang disebabkan ekstrasi air tanah yang berlebihan dan beban bangunan.
Sepanjang pengambilan air tanah belum dikelola dengan baik dan pembangunan dilakukan di wilayah yang rentan ambles, maka sebenaranya belum mengarah pada penyelesaian secara berkelanjutan. Pemakaian polder dan pompa-pompa, hanya akan mengurangi ancaman banjir semenntara saja. Karena itu dia menyarankan pengelolaan air di Semarang dengan cara yang lebih baik.
Selain Prof Sudharto, webinar Internasional yang digelar Selasa (1/12/2020) tersebut juga menghadirkan Irina Safitri Zen, Associate Profesor dari International Islamic University Malaysia (IIUM); serta Direktur Adaptasi Perubahan Iklim Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Dra Sri Tantri Arundhati MSc. Webinar dimoderasi oleh Ketua Program Studi DIL Sekolah Pascasarjana Undip, Dr Hartuti Purnaweni, MPA.
Adapun pakar lingkungan dari IIUM, Irina Safitri, membuka presentasinya dengan membagikan film pendek yang mengingatkan bahaya perubahan iklim berupa naiknya muka air laut. Pesan yang ingin disampaikan, ada banyak tempat di Asia Tenggara akan hilang. Dia mencontohkan Bandara di Ibukota Malaysia, KLIA, nantinya bisa berada di dekat laut karena banyak daratan yang lebih rendah dari muka laut.
Sementara itu Direktur Adaptasi Perubahan Iklim Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim KLHK, Tantri Arundhati, menegaskan Pemerintah Indonesia punya komitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca pada 2030 sebesar 29% dengan kekuatan sendiri, atau 41% jika dengan dukungan mitra strategis. Tantri memastikan bahwa Indonesia bisa memberi kontribusi besar pada peruabahan iklim.
Hal itu bisa dilakukan karena Indonesia memiliki biodiversiti yang sangat kaya, punya stock karbon yang besar. Dia juga mengingatkan Indonesia sendiri juga rentan terhadap perubahan iklim terutama peningkatan muka air laut mengingat banyaknya wilayah yang berada di pinggir pantai.
Pemerintah, kata dia, sudah memasukkan masalah perubahan iklim kedalam target nomer 6 dalam RPJMN (Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional) 2020 – 2024. Komitmen itu ada dalam bagian pembangunan lingkungan hidup, ketahan iklim, pengurangan risiko lingkungan dan perubahan iklim.