,

Kadep Susastra FIB UNDIP Perankan Patih Danupati dalam Pementasan Kethoprak Lakon Jaka Kendil di Kabupaten Pati

Jaka Kendil adalah cerita rakyat yang berasal Jawa Tengah. Jaka Kendil yang menjadi cerita tutur penuh nasihat untuk anak-anak pada masa lampau. Cerita rakyat tersebut mengajarkan kita untuk tidak memandang seseorang dari luarnya saja. Jaka Kendil sebagai cerita tutur berkembang menjadi banyak versi, terutama terkait siapa orang tua Jaka Kendil. Dalam masyarakat, umumnya orang tua Jaka Kendil adalah seorang janda miskin dari sebuah desa. Di sebuah desa di Jawa pada masa lalu, hiduplah seorang janda tua bersama seorang anak (Jaka Kendil) yang selalu diejek oleh tetangga karena memiliki tubuh yang pendek gemuk seperti kendil dan berwajah sama sekali tak tampan. Seperti pepatah “pungguk merindukan bulan” ia meminta ibunya untuk melamarkan putri raja.

Joko Kendil dalam Pementasan Kethoprak Pati

Dalam pementasan kethoprak Lakon Jaka Kendil di Dusun Mojo, Desa Langenharjo, Kecamatan Margomulyo, Kabupaten Pati (Sabtu, 1 Juni 2024), Jaka Kendil dikisah sebagai seorang pangeran yang terbuang. Jaka Kendil butuh waktu dua puluh tahun untuk kembali menemukan jati dirinya. Dalam pementasan terkait acara Sedhekah Bumi tersebut, Ketua Departemen Susastra FIB UNDIP (Dr. Sukarjo Waluyo, S.S., M.Hum.) turut bermain bersama Grup Kethoprak Wahyu Manggolo dari Jakenan (Pati). Dosen FIB UNDIP dan peneliti sastra dan budaya tersebut memerankan tokoh Patih Danupati dari Kerajaan Tanjunganom yang diperintah oleh Sinuwun Prabu Sindunegara.

Cerita dimulai dengan kabar seorang gadis desa bernama Sri Asih yang termasyur karena kecantikannya. Sri Asih adalah anak perempuan dari Resi Pramuja dai Padepokan Toyaarum. Sri Asih juga memiliki kakak laki-laki bernama Wasiaking, seorang pemuda yang ahli kanuragan dan sangat menyayangi adiknya.

Datanglah dua orang adipati yang masih kakak beradik dari dua kadipaten yang berbeda. Adipati Tejabaskara yang merupakan penguasa Kadipaten Parangkencana dan Adipati Tejalelana yang merupakan penguasa Kadipaten Karangbanyu. Kedua penguasa tersebut mendengar kabar tentang perempuan cantik bernama Sri Asih dari yang disebutkan sebagai wanodya kang indah sulistya ing warni atau perempuan yang memiliki paras amat cantik.

Kakak Sri Asih, Wasiaking akhirnya membuat sayembara. Siapa lelaki yang bisa mengalahkan perang tanding melawan Wasiaking dalam perang tanding berhak menjadi istri Sri Asih. Adipati Tejabaskara (penguasa Kadipaten Parangkencana) dan Adipati Tejalelana (penguasa Kadipaten Karangbanyu) mengalami kekalahan dan gagal memperistri Sri Asih.

Ia digoda seorang pemuda, ternyata Prabu Sindunegoro Raja Tanjunganom. Ketika sayembara sudah berakahir, muncullah seorang  lelaki tampan yang juga berminat mengikuti sayembara. Lelaki tersebut ternyata Raja Tanjunganom, Prabu Sindunegara yang selanjutnya bisa mengalahkan Wasiaking.

Sri Asih akhirnya diboyong ke Keraton Tanjunganom yang diberi gelar sebagai Adaningrum. Prabu Sindunegara yang belum memiliki anak dari istri tuanya bahkan mengangkat Adaningrum sebagai permaisuri Ketika mengetahui kehamilannya. Istri tua tidak terima hingga datang ke seorang resi untuk menenung agar anak yang dikandung Adaningrum nantinya terlahir dengan wajah buruk dan tak pantas sebagai manusia. Hal ini agar Adaningrum nantinya bisa dituduh selingkuh. Hal ini akan membuat sang raja marah dan mengusir Adaningrum dari keraton.

Pada saat Adaningrum akan melahirkan seorang bayi, Prabu Sindunegara datang bersama Patih Sindupati ke Taman Kaputren. Prabu Sindunegara sangat senang dan berharap memiliki anak laki-laki agar kelak bisa melanjutkan kekuasaannya. Namun, betapa terkejut hati penguasa Tanjunganom tersebut saat mengetahui bahwa anak lelaki yang dilahirkan oleh Adaningsih tersebut buruk muka. Ia menuduh Adaningsih, yang tak lain permaisurinya tersebut, berselingkuh, menghina asal-usulnya sebagai perempuan desa, dan mengusir dengan kejam dari Keraton Tanjunganom. Patih Sindupati yang memberikan nasihat agar Prabu Sindunegara berlaku bijak tak digubrisnya. Sang Patih merasa tak mampu lagi menahan kesewenang-wenangan raja. Ia pun meletakkan jabatan sebagai patih dan memilih meninggalkan keraton.

Meskipun memiliki tubuh yang tak tampan dan aneh. Jaka Kendil adalah anak yang baik dan mulai menginjak remaja yang menjadi kesayangan ibunya, yang tak lain adalah Sri Asih. Pada suatu hari, Jaka Kendil meminta ibunya untuk melamarkan puti raja. Raja memiliki tiga putri cantik dan ingin segera memiliki cucu. Ibunya sempat melarang karena hal tersebut sangatlah mustahil. Ibunya merasa Jaka Kendil tidak mungkin akan diterima dan menjadi bahan olok-olok saja.

Benar saja. Putri Pertama dan Putri Kedua mengolok-olok Jaka Kendil sebagai pemuda yang tak bisa mengaca atas keadaannya. Namun, Putri Ketiga justru menrima pinangan Jaka Kendil. Ia dinikahkan dengan Putri Ketiga. Beberapa hari setelah pernikahan, terjadilah peristiwa yang sangat mengagetkan. Jaka Kendil yang buruk rupa berubah menjadi seorang pangeran yang sangat tampan. Melihat kejadian itu, raja meminta penjelasan dari ibu Jaka Kendil. Terungkaplah siapa sejatinya Jaka Kendil. Seorang Pengeran Tanjunganom yang terbuang menderita dan menjadi korban tenung jahat. Pengaruh tenung akan hilang setelah Jaka Kendil berusia dua puluh tahun.

Pesan moral dari cerita rakyat Jaka Kendil terasa sangat mendalam dan terus relevan bagi masyarakat Jawa Tengah. Joko Kendil yang selama hidupnya sering diejek dan dicemooh orang karena buruk muka dan keadaan fisiknya. Namun dibalik itu semua, berkat kesabaran dan kasih sayang tulus seorang ibu, ia memperoleh kebahagian yang sangat luar biasa dan hidup bahagia bersama istri tercintanya.

Pemilik Grup Kethoprak Wahyu Manggolo (Bapak Mogol) mengungkap bahagianya karena masih ada akademisi dan peneliti yang bersedia turun ke lapangan dan memiliki perhatian atas eksistensi kesenian tradisional. Pada sekitar tahun 2022, Dr. Sukarjo Waluyo, S.S., M.Hum. bersama Dr. Sucipto Hadi Purnomo, M.Pd. (Prodi S1 Sastra Jawa FPBS UNNES), Habib Anis Sholeh Ba’asyin (Budayawan Pati), dan beberapa seniman kethoprak dari Jogja dan Pati pernah mengadakan Workshop Pengembangan Kethoprak Pati Se-Eks Karesidena  Pati di Sekretariat Grup Kethoprak Wahyu Manggolo.

Dr. Sukarjo Waluyo, S.S., M.Hum. (Ketua Departemen Susastra, FIB UNDIP)

Share this :

Category

Arsip

Related News