Sumber stres di masa pandemi Covid-19 ini, antara lain resiko kontaminasi virus, stigmatisasi keluarga atau rekan yang kontak dengan pasien Covid-19, tekanan sosial dan ekonomi, perubahan pola kerja atau rutinitas, kelelahan fisik, gangguan tidur, ketakutan dan gangguan emosional, ketidakpastian birokrasi dan politik, kekhawatiran tentang kesehatan diri sendiri dan orang lain, berduka atas kematian keluarga dan teman, serta resiko berkurangnya pendapatan dan kehilangan pekerjaan. Hal tersebut disampaikan oleh dr. Frilya Rachma Putri, SpKJ (Dosen Fakultas Kedoteran Universitas Brawijaya) dalam acara Webinar “Apakah Ada Hubungan Fungsi Kognitif dan Depresi?” diselenggarakan oleh Residen Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro (1/9). Hadir juga dalam acara ini Ketua Program Studi Psikiatri FK Undip, dr. Natalia Dewi Wardani, SpKJ.
“Stres merupakan salah satu faktor yang memicu peradangan dan disfungsi sel kekebalan, dapat terjadi peningkatan kadar IL-6 dan sel kekebalan tidak berfungsi, pasien yang rentan berpotensi mengalami percepatan badai sitokin selama infeksi Covid-19 karena sitokin yang hiperaktif serta disfungsi dari respon imun. Berbicara mengenai depresi, depresi bukan sekedar kesedihan biasa, sedih adalah suasana perasaan yang normal yang dipicu oleh suatu peristiwa atau pengalaman yang buruk atau mengecewakan. Dapat hilang dalam beberapa waktu setelah keadaan membaik, datang dan pergi serta bersifat sementara. Sedangkan depresi merupakan suatu gangguan mental, kerap muncul tanpa pemicu yang jelas, sedih atau hampa setiap waktu. Depresi tidak hilang dengan sendirinya, butuh penanganan medis untuk mengatasinya. Kurang berenergi, tidak termotivasi, dan hampa dirasakan cukup berat hingga menganggu aktivitas sehari-hari, hubungan sosial dan produktivitas” lanjut dr. Frilya.
Dalam kesempatannya dr. Natalia menyampaikan pencegahan depresi pada dasarnya adalah melaksanakan hidup sehat dan seimbang, yang mencakup kegiatan sosial, kegiatan fisik, kegiatan kognitif, kegiatan afektif, dan kegiatan religius.
“Peran keluarga atau orang terdekat akan sangat membantu dalam pemulihan pasien jika dapat menerima kondisi pasien, menyadari pasien dalam keadaan sakit, menyadari pasien dapat dipulihkan, baik melalui psikoterapi dan terapi obat antidepresan. Dan yang utama adalah keluarga inti atau orang terdekat yang berkenan di hati penderita depresi. Sedangkan derajat keparahan depresi itu ada ringan, sedang dan berat, jadi pendekatan awal bisa mulai dari psikoedukasi, manajemen diri terapi psikososial, bagi yang sedang dengan pendekatan terapi farmakologis dan psikoterapi. Selanjutnya yang berat melalui pendekatan terapi farmakologis, psikoterapi dan terapi kombinasi” tuturnya.
dr. Natalia mengatakan pemberian anti depresan diperlukan untuk memulihkan ketidak-seimbangan neurotransmitter di otak orang dengan depresi, obat memerlukan waktu untuk bekerja, tidak dapat instan dan obat yang tepat akan menimbulkan respon yang baik. Dengan respon yang baik, obat dilanjutkan untuk mencapai kestabilan lalu dipertahankan agar menjaga kondisi tetap baik, mencegah terjadinya relaps atau kekambuhan. Anti depresan itu tidak menimbulkan ketergantungkan jadi kita tidak perlu takut.
“Gejala depresi dalam manifestasi gangguan kognitif sering terjadi dan mempengaruhi aspek kehidupan orang dengan depresi. Depresi bukan tanda dari kelemahan karena depresi bisa diatasi, diobati dan dipulihkan. Dukungan keluarga atau orang terdekat dan lingkungan yang positif akan membantu pemulihan penderitanya” ungkap dr. Natalia. (Linda Humas)