Pemukiman di wilayah pesisir Kabupaten Demak, Jawa Tengah yang tersebar di Kecamatan Wedung, Sayung, Bonang, dan Karangtengah, hingga saat ini dihadapkan pada dua persoalan besar: banjir rob yang kerap melanda, serta penurunan tanah yang terus terjadi setiap tahun. Penurunan tanah ini bahkan mencapai hingga 10 sentimeter per tahun, membuat wilayah ini semakin rentan terhadap air pasang.
Saat banjir rob terjadi, rumah-rumah warga terendam air hingga mereka kesulitan menjalani aktivitas sehari-hari. Salah satu dampak paling berat dirasakan ketika warga tidak bisa melakukan kegiatan dasar seperti buang air kecil dan besar karena fasilitas jamban rumah tangga terendam banjir. Kondisi ini yang mendorong dosen program studi Epidemiologi Pascasarjana UNDIP, Dr. dr. Budi Laksono, M.HSc, melahirkan ide inovasi membuat jamban terbang. “Jamban itu adalah bagaimana membuat supaya itu menyehatkan masyarakat dan sustainable. Setiap daerah kadang-kadang punya tantangan yang berbeda-beda. Di Demak ini yang terjadi adalah daerah land subsidence atau tanah yang menurun. Karena tanah menurun, banjir rob kerap datang maka bentuk jamban yang paling baik yang kita kenalkan adalah jamban terbang atau flying latrine”, papar Dr. Budi saat ditemui Humas UNDIP.
Jamban terbang adalah toilet yang dibuat di atas tumpukan buis beton atau gorong-gorong air berbentuk bundar, dengan tinggi satu meter dan berdiameter 40 sentimeter. Sedangkan ketinggian jamban pada tiap rumah berbeda-beda, tergantung tinggi rendahnya air rob yang melanda rumah tersebut. Ada yang membutuhkan hanya 1 buah buis beton, namun ada pula yang membutuhkan 2 buah buis beton yang ditumpuk keatas atau dengan ketinggian minimal 2 meter. Pada bagian atas, diberi tutup beton berbentuk lingkaran berdiameter 40 sentimeter dengan lubang ditengahnya untuk meletakkan jamban. Pada salah satu sisi buis beton, diberi anak tangga untuk naik-turun jamban. Buis beton itu sendiri fungsinya sebagai septic tank untuk menampung dan mengolah limbah kotoran manusia. Suatu saat apabila jamban dengan ketinggian 2 meter ini tenggelam, maka buis beton dapat ditambah lagi sehingga jamban ini dapat digunakan seterusnya.
“Jamban ini dibuat di daerah yang menurun tanahnya dan ketika suatu saat penurunannya sampai menutup ruang septic tank, septic tank (buis beton – red) bisa ditambah di atasnya lagi. Jika nanti tenggelam, ditambah lagi begitu seterusnya. Inilah konsep “jamban terbang” yang dimaksud, jambannya tidak akan pernah menjadi hilang”, jelas Dr. Budi yang dijuluki sebagai dokter jamban dengan gagasannya Gerakan 20 Juta Jamban di Indonesia.
Sebanyak 70 rumah di Desa Tugu, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak mendapat bantuan jamban terbang dari Universitas Diponegoro. Program pembagian jamban terbang berlangsung pada bulan September hingga awal Oktober 2024, sebagai bagian dari kegiatan pengabdian masyarakat dan sekaligus untuk memperingati Dies Natalis ke-67 Universitas Diponegoro. (Tim Humas Undip)