UNDIP Kukuhkan Empat Guru Besar: Harapan Kebermanfaatan Ilmu untuk Masyarakat

UNDIP, Semarang (2/9) – Universitas Diponegoro kembali menggelar acara pengukuhan guru besar dari berbagai bidang disiplin ilmu, pada 2 September 2025. Pengukuhan guru besar ini dilaksanakan di gedung Prof. Sudarto, S.H., Kampus UNDIP Tembalang, di mana terdapat 4 guru besar yang dikukuhkan, yakni Prof. Dr. Ir. Nur Taufiq Syamsudin Putra Jaya, M.App.Sc. dan Prof. Dr. Ir.  Bambang Yuliyanto, DEA. dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan; Prof. Dr. Joko Setiyono, S.H., M.Hum. dari Fakultas Hukum; dan Prof. Dr. Dra. Nur Endah Wahyuningsih, M.S. dari Fakultas Kesehatan Masyarakat

Pada sambutannya, Ketua Senat Akademik UNDIP, Prof. Ir. Edy Rianto, M.Sc., Ph.D., I.P.U., mengatakan dengan dikukuhkannya Guru Besar baru ini, maka semakin banyak guru besar yang dimiliki oleh UNDIP. Hal ini merupakan salah satu indikator semakin meningkatnya kualitas Tri Dharma Perguruan Tinggi. “Saat ini, Guru Besar aktif di UNDIP berjumlah 252 orang, terdiri dari 230 Guru Besar Tetap dan 22 Guru Besar Tidak Tetap,” paparnya.

Ia menambahkan bahwa pengangkatan atau penunjukkan seseorang menjadi Guru Besar bukan hanya sebuah pengakuan akan kemampuan seseorang dalam bidang ilmunya, tetapi juga mengandung tugas dan tanggung jawab untuk mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu yang dikuasainya untuk kemaslahatan masyarakat dan kejayaan negara.

“Seorang Guru Besar hendaknya menjadi pengayom dan pembimbing bagi dosen muda dan para mahasiswa dalam memperdalam dan mengembangkan ilmu dan kemampuan mereka. Seorang Guru Besar juga harus dapat menjadi suri teladan dalam kehidupan sehari-hari, baik di kampus maupun di luar kampus,” ungkap Prof. Edy.

Rektor UNDIP, Prof. Dr. Suharnomo, S.E., M.Si. dalam sambutannya mengapresiasi keempat Guru Besar baru atas semangatnya dalam mencapai gelar Guru Besar sehingga layak dan patut diteladani. Menurutnya, menjadi Guru Besar berarti telah selesai dengan urusan pribadi sehingga diharapkan mampu menjadi teladan yang dapat membimbing dengan baik dan lebih suka berbagi ilmu serta mempunyai lebih banyak waktu untuk mengabdi kepada bangsa.

“Menjadi Guru Besar adalah orang-orang yang sudah selesai dengan dirinya sendiri karena ini adalah level tertinggi pencapaian ilmu. Guru besar adalah cendekiawan dan mudah-mudahan menjadi role model bagi masyarakat,” ungkapnya.

Dalam kesempatan tersebut, Prof. Suharnomo juga menyinggung prestasi UNDIP yang terus menunjukkan perkembangan positif. Ia menyebutkan bahwa dalam pemeringkatan Webometrics, UNDIP berhasil masuk empat besar nasional, sementara dalam sistem pemeringkatan Scimago Institutions, UNDIP berada di posisi tiga besar. Untuk pemeringkatan UI GreenMetrics, UNDIP bahkan konsisten berada di posisi dua besar selama lima tahun berturut-turut. Meski demikian, ia menegaskan bahwa pemeringkatan bukanlah tujuan akhir.

“Reputasi penting, bermartabat secara akademik penting, tapi kemanfaatan bagi masyarakat luas jauh-jauh lebih penting. Sebaik-baiknya kampus adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang banyak,” tegasnya.

Ia juga berharap para Guru Besar dapat menjadi role model sejati di tengah tantangan zaman, serta mampu menjadi penggerak bagi generasi muda dalam membangun reputasi akademik yang produktif dan berintegritas.

Menanggapi situasi nasional yang diwarnai dengan berbagai aksi unjuk rasa, Prof. Suharnomo menghimbau seluruh pihak untuk menjaga persatuan dan mengedepankan empati. Ia menutup sambutannya dengan mengutip pepatah Jawa, “Rukun agawe santosa, crah agawe bubrah,” yang berarti rukun membuat kekuatan, bertengkar membuat kerusakan.

Dalam kesempatannya, masing-masing Guru Besar memaparkan berbagai inovasi dan temuan penelitian yang telah mereka lakukan. Prof. Dr. Ir. Nur Taufiq Syamsudin Putra Jaya, M.App.Sc. memaparkan orasi ilmiah berjudul “Konservasi Sidat (Anguilla Bicolor Bicolor): Pengelolaan yang Berkelanjutan”. Ia menjelaskan pengamatannya terhadap sidat jawa di berbagai ekologi sungai di Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur.

Menggunakan pendekatan DNA, filogeni, dan beberapa penelitian, membuktikan bahwa daya tahan hidup sidat jawa lebih tinggi dibanding sidat dari kawasan lain Samudera Hindia. Selain itu, pendekatan-pendekatan tersebut membuktikan bahwa daerah perkawinan dan penetasan sidat jawa berada di Kawasan Perairan Nias. Penelitian tersebut juga menemukan 6 spesies sidat lain hidup bersama sidat jawa. Hal ini menunjukkan kekayaan biodiversitas sidat di Indonesia dapat menjadi peluang terbukanya kesempatan investasi, melalui konservasi sekaligus diversifikasi, di samping adanya kelangkaan pasokan pasar dunia terhadap sidat.

Sementara itu, Prof. Dr. Joko Setiyono, S.H., M.Hum. memaparkan penelitian bertema “Strategi Kebijakan Penanggulangan Terorisme di Indonesia sebagai Kejahatan Internasional dalam Perspektif Hukum Pidana Internasional”. Pemaparan pidato tersebut menjelaskan penerapan yurisdiksi kriminal negara berdasarkan asas teritorial, dengan membuat instrumen Hukum Nasional, meratifikasi Hukum Internasional terkait terorisme, menjalin kerjasama internasional, membentuk kelembagaan penanggulangan terorisme, serta pelibatan masyarakat dalam penanggulangan terorisme.

Strategi ini dianggap sangat penting dalam penanggulangan ancaman terorisme yang terus berkembang sejalan dengan pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, transportasi, dan komunikasi.

Prof. Dr. Ir. Bambang Yulianto, DEA. membahas “Strategi Pengendalian Pencemaran Logam Berat untuk Mendukung Konservasi Ekosistem Pesisir dan Laut”. Penelitian ini menunjukkan adanya pencemaran logam berat pada air, sedimen, dan biota laut di Pantai Utara Jawa Tengah.

Strategi yang dikemukakannya berupa fitoremediasi, yakni dengan memanfaatkan mangrove dan rumput laut yang mampu menyerap dan menstabilkan polutan secara alami; serta strategi depurasi kerang dengan membersihkan kerang-kerangan dari bahan-bahan pencemar dan beracun dalam jaringan lunak dan cangkang kerang. Temuan tersebut menawarkan manfaat ekonomi dengan metode yang efektif, mudah, dan murah.

Prof. Dr. Dra. Nur Endah Wahyuningsih, M.S. mengangkat judul “Inovasi Baru dalam Pengendalian Demam Berdarah: Harapan dari Teknologi Genetik dan Dukungan Masyarakat”. Penelitian yang dilakukan berupa penelitian dalam pemanfaatan bakteri alami, Wolbachia, yang mampu menurunkan kemampuan nyamuk dalam menularkan virus dengue. Namun, beliau menekankan bahwa keberhasilan program pengendalian berbasis Wolbachia sangat bergantung pada penerimaan masyarakat.

Maka, perlu adanya kolaborasi erat antara ilmuwan, pemerintah, dan, masyarakat untuk membangun strategi yang holistik, adaptif, dan berkelanjutan. Dengan dukungan riset dan kebijakan yang tepat, inovasi ini diharapkan mampu menekan beban penyakit DBD secara signifikan sekaligus meningkatkan kualitas hidup masyarakat. (Komunikasi Publik/UNDIP/Nabila & As)

Share this :