Asian-African Students’ Conference 2025 di UNDIP: Angkat Isu Permasalahan Iklim Global

UNDIP, Semarang (1/10) – Rayakan semarak keberagaman, Kantor Urusan Internasional Universitas Diponegoro (KUI UNDIP) menyelenggarakan Asian-African Students’ Conference 2025 dengan menggandeng 47 mahasiswa internasional dari 26 negara di Asia dan Afrika. Bertema “The Rise of Asia-Africa Spirit: Global South Unites for Global Challenges” konferensi ini bertujuan sebagai forum diskusi generasi muda internasional yang pada tahun ini fokus terhadap permasalahan global 3 pilar SDGs: lingkungan (environmental), sosial (social), dan ekonomi (economic).

Asian-African Students’ Conference 2025 digelar pada 1-2 Oktober 2025 dengan rangkaian Konferensi Internasional dan Cultural Night di Ballroom Grand Candi Hotel (1/10) dan menghadirkan pembicara talkshow:

– H.E. Amb. Prof. Dr. Eddy Pratomo, S.H., M.A. (Profesor Ahli Hukum Internasional dan Kelautan)

– Gridhanya Mega Laidha, S.H., LL.M. (Indonesia Ocean Justice Initiative/ IOJI)

– Pulung Widhi Hari Hananto, S.H., M.H., LL.M. (Wakil Direktur Reputasi, Kemitraan, dan Konektivitas Global)

Direktur Reputasi, Kemitraan, dan Konektivitas Global, Prof. Dr. Ir. Hadiyanto, S.T., M.Sc., IPU. mewakili Rektor UNDIP, Prof. Dr. Suharnomo, S.E., M.Si., secara resmi membuka acara Asian-African Students’ Conference 2025 dan menyambut ramah seluruh peserta yang datang dari berbagai negara. “Kami bangga sekali dengan mahasiswa UNDIP dan mahasiswa internasional yang aktif menyuarakan pemikirannya, ini menunjukkan semangat perjuangan yang masih membara. Kita lanjutkan legacy dari Konferensi Asia Afrika 1955, dari adik-adik mahasiswa nantinya kita kumpulkan perspektif baru untuk menanggulangi permasalahan energi, kesehatan global, dan disrupsi teknologi,” tuturnya.

Forum ini, menurut Prof. Hadiyanto merupakan jembatan antara ilmu pengetahuan dan solidaritas yang menyatukan pemikiran dari berbagai bangsa. Konferensi ini juga wujud nyata dari tagline “UNDIP Bermartabat dan Bermanfaat” dan langkah UNDIP menuju World-Class University.

Pulung Widhi Hari Hananto, S.H., M.H., LL.M. selaku Project Manager dari Asian-African Students’ Conference 2025 mengatakan bahwa melalui diskusi forum ini mahasiswa dapat mengasah kemampuan leadership, menyerukan ide inovasi serta menemukan solusi atas permasalahan global, yang meliputi topik krisis kemanusiaan, ekonomi biru (blue economy), keamanan pangan (food security) serta Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals).

“Di sini adalah wadah agar kita semua mampu belajar. Hal ini akan membentuk spektrum baru dari semangat generasi muda untuk meningkatkan kualitas kehidupan. Mengutip kalimat dari Pangeran Diponegoro, “Takdir adalah kepastian, tapi hidup harus tetap berjalan,” saat ini banyak permasalahan terkait iklim dan ekosistem, namun bersama-sama kita pecahkan masalah dan temukan solusinya,” pungkasnya.

Prof. Dr. Eddy Pratomo yang bergabung melalui Zoom meeting menyampaikan materi berjudul “Diplomatic Issues and Maritime: Sea Level Rise – An Asia-Africa Perspective.” Kondisi air laut terus meningkat (sea level crisis) sehingga menimbulkan permasalahan ketahanan pangan, sumber daya perikanan, dan juga batas garis pantai. “Negara di Asia dan Afrika memiliki permasalahan dan risiko yang sama. Melalui konferensi ini kita bisa menguatkan diplomasi legal pada forum PBB, kolaborasi ekonomi biru, dan menjaga sumber daya di wilayah Samudera Hindia,” kata Prof. Eddy.

Selanjutnya, Gridhanya Mega bicara tentang “Rethinking Law in the Age of the Anthropocene.” Sebuah krisis planet Bumi, Anthropocene (diperkenalkan oleh ahli ekologi Eugene F. Stoermer, 1980an, dan dipopulerkan oleh ahli kimia Paul Crutzen, 2000an); di mana umat manusia telah menjadi kekuatan dominan dalam perubahan iklim dan ekosistem Bumi, dan termasuk dalam komposisi kimia atmosfer dan lautan. Campur tangan manusia menjadi ancaman bagi keberlangsungan planet Bumi, di antaranya menyebabkan perubahan cuaca, kerusakan keanekaragaman hayati, degradasi laut, polusi, dan perubahan fungsi tanah.

Fenomena Anthropocene juga mempengaruhi keamanan umat manusia, ketika dinamika di Bumi tidak stabil maka akan menimbulkan permasalahan kesehatan, kekurangan pangan, konflik kekerasan, ketidakamanan ekonomi, dan ketimpangan sosial. “Perubahan sistem dan hukum secara transformatif, khususnya pada Law in the Anthropocene, perlu dilakukan dengan menyeimbangkan hubungan antara alam dan manusia. Planet Bumi memiliki banyak kekayaan alam, namun memiliki batas sehingga konservasi ekologi perlu dilakukan, contohnya dengan mengadopsi budaya masyarakat suku asli Indonesia: menjaga hutan sakral, menciptakan sistem buka tutup pada tempat penangkapan ikan, menghidupkan legenda bahwa laut dan hutan adalah bagian dari mother nature.

Selanjutnya, Pulung Widhi menjelaskan tentang “Climate Action and Climate Justice: In the Context of Asia-Africa Cooperation.” Upaya konservasi lingkungan dalam perjanjian internasional tercakup dalam United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), The Kyoto Protocol, dan Paris Climate Agreement.

Di forum ini, ide dan inovasi dari berbagai penjuru negara Asia dan Afrika disatukan menjadi solusi untuk menghadapi krisis iklim global. “Di sini bersama dengan pakar ahli, kita diskusikan pemanfaatan penggunaan sumber daya alam yang berkelanjutan dan aman untuk masa depan umat manusia dan planet Bumi,” tuturnya.

Acara talkshow dilanjutkan dengan Cultural Night, di mana mahasiswa internasional akan menampilkan pertunjukan budaya dari negara masing-masing dengan menggunakan pakaian adat tradisional. Pada hari kedua (2/10) mahasiswa internasional akan melaksanakan kegiatan Cross-Cultural Understanding dengan mengunjungi situs budaya di Klenteng Sam Poo Kong, Lawang Sewu, dan Kota Lama Semarang. (Komunikasi Publik/ UNDIP/ Titis)

Share this :