SEMARANG – Dosen di Departemen Perencanaan Wilayah dan Perkotaan (PWK) Fakultas Teknik Universitas Diponegoro (Undip), Dr.-Ing. Wiwandari Handayani, S.T., M.T., MPS, resmi menyandang gelar profesor setelah pengukuhan yang dilakukan di Gedung Prof. Soedarto, S.H. Tembalang, Kamis (28/10/2021). Sosok yang banyak dikenal oleh stakeholder dalam dan luar negeri bidang ketahanan kota (city resilience) ini membawakan pidato ilmiah berjudul “Operasionalisasi Konsep Ketahanan (Resilience) dalam Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Kota”.
Memang dalam sepuluh tahun belakangan Prof. Wiwandari banyak terlibat secara signifikan di bidang ketahanan kota, khususnya untuk kota tempat tinggalnya, Semarang. Tahun ini profesor yang memiliki dua gelar berbeda untuk strata magisternya ini menjadi salah satu penyusun utama Road Map Land Subsidence untuk Jawa Tengah.
Pada acara pengukuhan guru besar di Sidang Terbuka Senat Akademik Undip, ibu dua orang putri ini memaparkan mengenai wilayah dan kota yang memiliki ketahanan , yaitu yang dapat dengan cepat merespon untuk bertahan (to survive), beradaptasi (to adapt), dan menjadi lebih baik karena daya lenting yang dimilikinya (grow better) dalam mengatasi segala gangguan yang timbul.
Pemaparan ini didasarkan pada penelitian yang dilakukan dalam 10 tahun terakhir dan praktik-praktik advokasi kebijakan terutama berdasarkan pengalaman praktis sebagai Deputy Chief Resilience Officer Kota Semarang dalam jejaring 100 Resilient Cities/Global Resilient Cities Network (GRCN). Konsep ketahanan wilayah/kota, menurut penyandang gelar Doktor dari Universitas Stutgart ini, memiliki kompleksitas operasionalisasi yang terdiri dari tiga hal.
Yang pertama, dalam tataran kebijakan, ketahanan masih bersifat multitafsir. Dokumen kebijakan pembangunan nasional menempatkan istilah ketahanan dalam berbagai sektor pembangunan yang penafsirannya masih perlu dikonsolidasikan agar dapat saling bersinergi. Kedua, dalam tataran praktik, urbanisasi yang terjadi dengan sangat pesat menimbulkan berbagai persoalan dalam perencanaan dan pembangunan wilayah dan kota. Hal ini terjadi seiring dengan berbagai guncangan dan tekanan di berbagai wilayah dengan konsentrasi penduduk yang tinggi dan aktifitas ekonomi yang intensif. Urbanisasi yang lebih terkendali sebaiknya dapat dijadikan daya ungkit pembangunan yang lebih memperhatikan keseimbangan antara upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pengelolaan lingkungan. Ketiga,untuk menjembatani kebijakan dan implementasinya, tata kelola adalah backbone yang masih menghadapi kendala dalam pelaksanaannya.
“Saya berharap rumusan tiga hal penting tersebut dapat digunakan untuk berbagai kajian yang telah dilakukan, untuk pengayaan konsep ketahanan dalam tataran keilmuan dan praktik kebijakan perencanaaan pembangunan wilayah dan kota secara umum maupun secara khusus di Indonesia.” demikian tandasnya.
Kota, apalagi yang berada di pesisir, menghadapi banyak gangguan yang bisa dikategorikan ke dalam dua kelompok yaitu guncangan (shock) dan tekanan (stresses). Guncangan adalah gangguan yang terjadi secara tiba-tiba dan menimbulkan kerusakan yang luar biasa. Banjir bandang akibat cuaca ekstrem, tsunami, gempa bumi yang tiba-tiba terjadi adalah guncangan yang dialami berbagai wilayah di Indonesia yang menimbukan kerugian dan kerusakan secara masif.
Berbeda dengan guncangan, tekanan atau stresses adalah gangguan yang cenderung lebih sering terjadi sehingga masyarakat merasa telah terbiasa dan kemudian dengan secara baik beradaptasi untuk menghadapi gangguan tersebut. Salah satu jenis tekanan di wilayah perkotaan misalnya adalah kemacetan lalu lintas dan munculnya sektor-sektor informal yang menimbulkan kesan kumuh dan ketidakteraturan.
Mengenai istilah ketahanan digunakan untuk menjelaskan kondisi yang dialami suatu wilayah dan kota sebagai respon atas terjadinya berbagai gangguan baik pada skala mikro (individu-komunitas), meso (kawasan), maupun makro (urban–supra urban).
Dalam konteks Kota Semarang, Wiwik mengatakan masalah utamanya adalah air, kondisi berlebih terjadi banjir, sementara saat kurang terjadi kekeringan. Untuk mengatasinya, dia menyarankan penanganan di tiga wilayah secara pararel, yakni penerapan spoons concept di hulu agar air saat berlebih tersimpan dan dilepas saat dibutuhkan, di tengah dengan menata drainase dan lahannya, serta di hilir yang di Semarang berupa daerah pantai perlu dilakukan penanaman mangrove dan pembuatan tanggul. “Untuk melaksanakannya, perlu kerja sama dengan semua stakeholder, termasuk pengembang yang menguasai lahan, dan wilayah kabupaten lain,” ujarnya.
Pengampu 8 mata kuliah yang meraih gelar sebagai sarjana perencanaan kota dan wilayah tahun 1998 ini diketahui aktif dalam berbagai kelompok kerja dan organisasi. Diantaranya di Asian Cities Climate Change Resilience Network (ACCCRN), Global Resilience Cities Network (GRCN) dan di Undip menjabat sebagai Ketua Departemen Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota, Koordinator Bidang Kemitraan dan Penguatan Kelembagaan Sustainable Development Goals (SDGs) dan Ketua Pusat Kajian Ketahanan Wilayah dan Kota / Center for Urban and Regional Resilience Research (CURE) Fakultas Teknik Undip. (tim humas)