SEMARANG – Program Studi (Prodi) S1 Sastra Indonesia Fakultas Ilmu dan Budaya (FIB) Universitas Diponegoro (UNDIP) terus memperluas jaringan kerjasamanya dengan menggandeng perguruan tinggi di luar negeri. Yang terbaru, Prodi Sastra Indonesia FIB Undip menggandeng Leiden University Belanda dan International Islamic University (IIU) Malaysia sebagai mitra dalam riset, pengajaran dan pengembangan institusi.
Ketua Prodi S1 Sastra Indonesia FIB Undip, Dr. Sukarjo Waluyo, S.S., M.Hum., mengungkapkan niatnya untuk terus memperluas jaringan kerjasama internasional sebagai jawaban atas kuatnya arus globalisasi. “Kerjasama dengan perguruann tinggi di luar negeri terus kami lakukan. Hal ini kami lakukan untuk kegiatan riset dan pengajaran dengan saling bertukar dosen dalam memberikan kuliah umum. Selain itu ada juga kerja sama untuk pengembangan dan penguatan institusi,” kata Sukarjo Waluyo, Selasa (9/11/2021).
Menimbang kondisi pandemi, untuk sementara dalam kerja sama tersebut diintensifkan dengan kuliah umum secara daring, serta pertemuan-pertemuan secara online untuk membahas isu-isu yang penting. “Yang terbaru, kami bersama Leiden University dan IIU Malaysia menggelar International Webinar bertajuk Research Prospect of Nusantara Manuscripts during Covid-19,” Sukarjo menambahkan.
Pada webinar internasional yang diikuti para dosen dan mahasiswa, tampil sebagai pemakalah di antaranya Dr. Suryadi, M.A dari Universitas Leiden Belanda; Dr. Mohd. Affendi, M.A. dari Universitas Islam Internasional Malaysia, dan dari Prodi Sastra Indonesia FIB Undip, Dr M. Abdullah M.A.
Menurut Sukarjo Waluyo, materi yang dikupas dalam webinar tersebut adalah perkembangan studi filologi di Indonesia. Kajian filologi ditekankan pada mempelajari bahasa dalam sumber-sumber sejarah yang ditulis, yang merupakan kombinasi dari kritik sastra, sejarah, dan linguistik. Berbagai manuskrip dan karya-karya teks sastra dibedah keautentikan dan keasliannya dari pembentukan dan penentuan maknanya.
Sejatinya teks yang termuat dalam sebuah naskah manuskrip, terutama yang berasal dari masa lampau, sering kali sulit untuk dipahami tidak saja karena bahasanya yang sulit tetapi karena naskah manuskrip disalin berulang-ulang kali. Dengan kondisi itu, ada variasi yang bisa saja memuat kesalahan-kesalahan.
Pakar filologi FIB Undip, Dr. M. Abdullah M.A., mengatakan tugas seorang filolog adalah meneliti naskah-naskah ini, membuat laporan tentang keadaan naskah-naskah ini, dan menyunting teks yang ada di dalamnya. “Ilmu filologi biasanya berdampingan dengan paleografi, atau ilmu tentang tulisan pada masa lampau,’’ katanya.
Abdullah memperkirakan studi filologi akan berkembang pada masa yang akan datang. Studi Filologi akan mengikuti perkembangan zaman, termasuk kebutuhan untuk melakukan digitalisasi naskah-naskah kuno khususnya yang bernuansa sejarah, politik maupun kebudayaan. Dia mengaku prihatin dengan minimnya peneliti yang tertarik melacak jejak-jejak sejarah yang ada di Indonesia.
Secara umum di tahun 1990-an studi pernaskahan Nusantara atau studi yang menggunakan naskah nusantara sebagai objek, mengalami penurunan. Orientasi studi pernaskahan berubah, studi filologi murni atau disertasi sangat jarang; karena naskah-naskah yang dianggap utama seperti Hang Tuah, Undang-Undang Malaka, Undang-Undang Minangkabau, dan sebagainya sudah banyak dikaji. “Jadi, potensi untuk membuat kajian yang di luar filologi murni dengan mengambil naskah baru kecil. Ini menjadi tantangan apalagi dengan berkembangnya dunia digital,” ujarnya.
Sementara itu, Dr. Suryadi, M.A., pembicara dari University Leiden Belanda mengungkapkan bahwa aspek digitalisasi merupakan aspek penting terutama yang menyangkut bahan yang tertulis dan klasik. Sebelumnya dalam pendokumentasian dipakai Teknologi Microfilm, sehingga bahan-bahan tertulis bisa terselamatkan. Dunia akademik berhasil menyelamat beberapa manuskrip bisa tetap dibaca, meski materi kertas yang menjaid medium materi aslinya sudah dalam keadaan lapuk atau tidak bisa dilihat secara riil.
Dicontohkan, di Indonesia masih banyak koran lama yang tersimpan di perpustakaan dan belum dimikrofilmkan. Hal tersebut karena menyangkut perihal biaya dan sebagainya sehingga menjadi tantangan di era digital ini. Seharusnya dengan teknologi informasi sekarang digitalisasi koran-koran lama di Indonesia bisa segera dilakukan.
Beberapa proyek digitalisasi di Indonesia memang sudah pernah dilakukan. Diantaranya digitalisasi naskah-naskah Jawa oleh FIB Universitas Indonesia (2009), proyek C-DATS-TUFS (Palembang, Padang, Aceh, 2003), proyek Leipzig University dalam Projekt zur bewahrung der handschriften von Acheh (2007), proyek pendigitalisasian naskah-naskah Keraton Yogyakarta, Surakarta dan Cirebon (2010), dan proyek Endangered Archives Programme (British Library, 2006). “Pandemi Covid-19 menjadi test case tidak sengaja untuk revolusi industri 4.0. Hal ini telah mengubah persepsi manusia tentang realitas kemudian muncul teknologi digital.”
Lebih lanjut dikatakan, munculnya teknologi digital juga bisa memunculkan persepsi tentang realitas yang berbeda. Apa yang kita anggap real dan tidak nyata makin susah dibedakan. Hoaks atau bukan hoaks susah dibedakan. Migrasi buku dari buku konvensional ke bentuk digital tidak bisa dihindarkan lagi, termasuk migrasi naskah ke digitalisasi naskah. Di sini peran ilmuwan dalam digitalisasi menjadi penting.
Dr. Mohd. Affendi, M.A, dari IIUM mengungkapkan banyaknya manuskrip Melayu yang berbicara tentang pengobatan tradisional merupakan obyek yang menarik untuk dikaji lebih lanjut. “Nusanatara adalah kawasan yang kaya dengan bahan-bahan obat-obatan tradisional. Ke depan menjadi sangat relevan dilakukan penelitian interdisiplin studi filolofi dengan bidang ilmu lain, misalnya dengan ilmu kedokteran dan kesehatan. Studi interdisiplin akan semakin memajukan perspektif dari berbagai disiplin ilmu,” tukasnya. (tim humas)