Pada 10 Desember 2024, Monash University menggelar seminar internasional bertajuk Data and Democracy Dialogues. Seminar ini menghadirkan para akademisi dari berbagai negara, termasuk US, Australia dan Malaysia, perwakilan organisasi non-pemerintah (LSM), serta praktisi media.
Salah satu pembicara utama adalah Wijayanto, Ph.D., Wakil Rektor Riset, Inovasi, Kerja Sama, dan Komunikasi Publik Universitas Diponegoro. Sebagai ahli di bidang politik digital dan demokrasi, ia membawakan paparan berjudul New Election, Old Affective Polarization: Comparing Cyber Troops Operations in Indonesia’s 2019 and 2024 Presidential Elections.
Dalam paparannya, Wijayanto menyampaikan hasil penelitian yang dilakukan bersama tim riset dari Belanda. Penelitian ini menggunakan analisis jejaring sosial (Social Network Analysis) terhadap percakapan di platform X (dahulu Twitter) selama Pemilu 2019 dan 2024, serta wawancara mendalam dengan 46 cybertrooper. Ia menemukan bahwa mayoritas cybertrooper tetap mendukung partai atau kandidat yang sama seperti pada pemilu sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa perpecahan lama masih kuat dan sulit dihilangkan.
Wijayanto menekankan, polarisasi afektif tetap menjadi ciri utama dalam Pemilu 2024. Polarisasi ini mencerminkan identitas sosial yang kuat, di mana pendukung cenderung memperkuat rasa kebersamaan dalam kelompoknya sekaligus memupuk permusuhan terhadap kelompok lain.Hal ini memberikan gambaran tentang bagaimana polarisasi politik terus membentuk dinamika demokrasi di Indonesia.
Wijayanto juga menjelaskan strategi kampanye yang digunakan pada Pemilu 2024. Kombinasi antara kampanye positif dan negatif masih menjadi strategi utama. Kampanye positif menonjolkan kelebihan kandidat, sedangkan kampanye negatif menyerang karakter pribadi lawan. Meskipun ada inovasi berupa “whitewashing” untuk mencitrakan kandidat secara ekstrem, pola umumnya tetap sama: membangun citra positif sambil mendiskreditkan pihak lawan. (NH)