SEMARANG – Pakar sosiologi dan sejarah maritim dari Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Diponegoro (UNDIP), Prof. Dr. Yety Rochwulaningsih M.Si., berpendapat usaha garam rakyat punya akar sejarah yang kuat dan layak untuk dikembangkan. Usaha garam rakyat sangat potensial sebagai penopang pertumbuhan ekonomi nasional dan kesejahteraan rakyat.
Sejarawan yang beberapa kali melakukan pengkajian tentang garam rakyat ini mengungkapkan bahwa garam sebagai unsur bahan pangan sekaligus komoditi perdagangan yang strategis sebenarnya sudah ada dan tumbuh sejak era pra kolonial dan terus ada hingga sekarang. “Bahkan di masa mendatang pun usaha garam rakyat akan tetap ada dan sangat dibutuhkan baik untuk konsumsi maupun industri,” kata Prof Yety Rochwulaningsih, Kamis (1/4/2021).
Eksistensi garam rakyat selain ditopang oleh potensi sumber daya alam yakni geografis dan klimatologis, juga didukung oleh sumber daya manusia yang memiliki pengalaman empirik dan diturunkan dari generasi ke generasi. Usaha garam di beberapa wilayah bahkan sudah menjadi budaya masyarakat dan sumber nafkah utama. Dalam konteks sumber daya, Yety berkeyakinan jika dikelola dengan baik usaha garam rakyat memiliki keunggulan komparatif yang tinggi untuk bersaing di pasar nasional maupun internasional
Menanggapi isu adanya impor garam khususnya untuk kebutuhan industri yang merupakan kebutuhan mayoritas secara nasional, guru besar di Prodi Magister Sejarah dan Program Doktor Ilmu Sejarah FIB Undip ini menduga ada kurang transparansi dan akurasi dalam penyajian data kebutuhan dan kualifikasinya, sehingga produsen garam bahan baku para petambak garam tidak bisa mengembangkan usahanya untuk memenuhi kebutuhan garam industri dan peluang impor menjadi terbuka luas sebagai ladang bisnis para importir. Intinya, ada persoalan struktural yang menghambat pengembangan usaha garam rakyat, terutama tertutupnya akses pasar ke industri, maka perlu dibantu mediasi dengan industri yang membutuhkan garam lengkap dengan data yang transparan dan akurat tentang volume dan kualifikasinya.
Dia berharap pemerintah lebih intens membina usaha garam rakyat karena usaha ini berada di garda depan dalam konteks ketahanan panagan nasional, khususnya garam. Apa yang dilakukan pemerintah sejak tahun 2011 dengan Program PUGAR (Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat) sudah tepat, namun perlu lebih diintensifkan terutama untuk mengubah mindset sebagai pengusaha garam. Yety yang menjadi tenaga ahli di Program PUGAR Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) berharap kajian tentang inovasi dan pengembangan teknologi untuk garam rakyat selalu disertai perubahan mindset, sehingga usaha garam rakyat makin efisien, berkualitas dan menjadi komoditi strategis yang dapat meningkatkan kesejahteraan petambak garam khususnya dan masyarakat pesisir pada umumnya.
Besarnya potensi dalam konteks sumber daya alam terlihat dari adanya lahan garam di Indonesia seluas 68.754,16 ha yang berada di sembilan provinsi mulai dari Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Gorontalo, serta Maluku Utara. Sebagian besar teknik produksinya masih memakai evaporasi (penguapan) yang tradisional dan mengandalkan alam, sehingga ada keterbatasan terkait dengan musim. “Dengan intensifikasi, inovasi teknologi, perubahan mindset pengelolaan usaha garam, akan terjadi perubahan yang signifikan pada sektor garam rakyat sebagai komoditas perdagangan strategis dan potensial,” kata Yety.
Berdasarkan data periode 2010 – 2020, rata-rata produksi garam nasional mencapai 1,6 juta ton/tahun. Adapun kebutuhan garam nasional 3,8 juta ton/tahun, sehingga Indonesia harus mengimpor garam selama periode tersebut rata-rata sebesar 2,2 juta ton/tahun. Yang menjadi pertanyaan, dalam kondisi kekurangan pasokan, masih ada garam rakyat yang tidak terserap. Kondisi ini sangat ironis dan penting untuk dicarikan solusinya.
Meski masih dalam keterbatasan pun, produksi garam rakyat masih terus berperan dalam pusaran ekonomi nasional. Bahkan, di tengah himpitan impor, masih ada produsen garam tertentu seperti garam ‘palung’ di Bali yang bisa mengekspor produknya ke beberapa negara maju seperti Jepang, Amerika, Perancis, dll.. “Meski tidak besar volumenya, tetapi menjadi bukti otentik bahwa kita bangsa Indonesia ternyata bisa mengekspor garam. Saya yakin dengan kesungguhan bersama, terutama komitmen pemerintah dan dunia industri swasembada garam baik konsumsi maupun industri bisa diwujudkan di masa depan,” pungkasnya.
Beranda
Michael Davin Andhika Putra, The Most Inspiring Movement pada Ajang Nutrifood Leadership Award 2024
Mahasiswa Universitas Diponegoro (UNDIP) kembali memperoleh prestasi membanggakan. Ia adalah