SEMARANG – Guru Besar dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Universitas Diponegoro (UNDIP) Prof. Dr. Ir. Eko Nurcahya Dewi, M.Sc mengingatkan terjadinya pemanasan global yang diikuti dengan perubahan iklim (climate change) yang bisa mengancam ketahanan bahan pangan yang berasal dari perairan. Pasalnya ikan bersirip (finfish), kerang-kerangan (shellfish), habitat lamun (seagrass), adalah biota yang sensitif akibat perubahan pemanasan global.
Dia menegaskan, kita tidak dapat memungkiri kenyataan perubahan iklim bukan hanya menyebabkan naiknya permukaan air laut, tapi akan diikuti perubahan struktur ekosistem laut seperti kandungan oksigen, suhu, keasaman, dan salinitas yang berpotensi akan mengubah tatanan ekosistim laut. “Perubahan iklim ini akan mempengaruhi ekologi, produktivitas hewan yang hidup didalamnya, terjadinya polusi dan terganggunya operasi penangkapan ikan, juga munculnya penyakit yang sering terjadi di ekosistim tersebut,” kata Eko Nurcahya Dewi, Rabu (29/9/2021).
Karena itu, dia mengingatkan pentingnya melakukan antisipasi secara bersama-sama agar ketahanan bahan pangan yang bersumber dari perairan – khususnya laut, bisa terjaga dengan baik. “Salah satunya adalah dengan mengembangkan teknologi pengolahan misal menggunakan tekanan tinggi dengan waktu singkat yang bertujuan untuk meminimalisasikan kerusakan dan kehilangan nutrisi selama proses pengolahan.
Menurut dia, kontribusi bahan pangan perairan dari laut sangat signifikan, sehingga pengembangan teknologi hasil perikanan harus terus dilakukan. Secara prinsip, teknologi hasil perikanan adalah bagaimana menjaga produk hasil perikanan tetap terjaga kualitasnya meski ada rentang waktu antara saat ditangkap atau panen dengan saat konsumsi. “Menjaga kualitas bukan hanya secara fisik, tapi juga menjaga kandungan gizinya,” kata guru besar FPIK Undip ini.
Hal lain yang perlu dilakukan adalah pengembangan budidaya ikan. Meski terdampak oleh perubahan iklim, dengan adanya terobosan-terobosan yang ada di bidang budidaya baik tawar maupun payau bisa diandalkan untuk ketersediaan pangan khususnya sumber protein hewani maupun nabati. Yang tidak boleh dilupakan, ketersediaan pangan sebagai penopang ketahanan pangan juga perlu diperhatikan keberlanjutannya. FAO mendefinisikan ketahanan pangan atau food security sebagai suatu kondisi dimana semua individu, memungkinkan untuk mendapatkan pangan yang cukup jumlahnya , aman, dan bergizi sesuai kebutuhan masyarakat untuk kehidupan secara berkelanjutan.
Pengembangan budidaya melalui inovasi dan pengembangan teknologi, meski tak terhindar dari pengaruh negatif climate change, menjadi pilihan yang relevan. Nurcahya Dewi menekankan upaya mengatasi ancaman krisis pangan dengan melakukan budidaya spesies ikan yang mengandung protein tinggi, khususnya yang bisa dibudiayakan di air tawar seperti ikan lele, nila dan patin. Ikan-ikan tersebut tidak hanya dimanfaatkan dagingnya, bagian yang lain seperti kulit, tulang, dan kepala juga bisa dimanfaatkan. Beberapa negara diketahui mampu mengolah tulang dan duri dari ikan ini menjadi gelatin yang digunakan sebagai pembentuk gel pada pengolahan pangan.
Selain ikan, produk perairan lain yang penting dikembangkan budidayanya adalah mikroalgae (unicellular organism) yaitu ganggang yang tumbuh di laut maupun di air tawar. Mikroalgae yang sudah dikenal sebagai sumber pangan yang masih bisa ditingkatkan pemanfaatannya di antaranya Spirulina platensis, salah satu single cell protein yang sudah dimanfaatkan karena kandungan proteinnya yang tinggi berkisar 55-70 % dalam bentuk kering, mengandung asam amino yang lengkap, beta karoten, Vitamin B12, B komplek; mengandung trace mineral seperti Fe, Ca, Mg, Mn, Na; juga mengandung senyawa bioaktif phycosianin sebagai antioksidan, pain relief, dan anti-inflammatory. Budidaya Spirulina di alam juga dipengaruhi musim, diharapkan dengan teknologi budidaya dan pengolahan yang terus berkembang bisa menjaga ketersediaan stoknya
Perlu diketahui, belum lama ini Panel Antar pemerintah tentang Perubahan Iklim yang digagas oleh PBB mengumumkan hasil penelitian yang menyebut 83% lautan dunia “sangat mungkin” akan menjadi makin panas abad ini. Hasil penelitian tersebut juga menyatakan perubahan iklim telah menembus batasan normal. (tim humas)