Memiliki anak adalah karunia yang membahagiakan bagi orang tua. Namun tidak semua anak terlahir sempurna, beberapa diantaranya butuh perhatian dan kasih sayang yang lebih dari orang tuanya. Yang sering terjadi banyak orang tua yang malu bahkan menyembunyikan kekurangan atau sakit yang diderita oleh anaknya, bahkan beberapa menganggap sebagai aib yang justru menyebabkan anak tersebut tidak memperoleh penanganan medis secara tepat.
Salah satu penyakit yang dianggap aib dan tabu untuk diketahui banyak orang adalah kerancuan kelamin atau yang sebelumnya orang menyebut kelamin ganda. Ternyata sebutan kelamin ganda cukup menyakitkan bagi pasien, sehingga oleh Tim Penyesuaian Kelamin Fakultas Kedokteran Undip yang diketuai oleh Prof. dr. Sultana, Ph.D. mengistilahkan kelamin ganda dengan kerancuan kelamin.
Dalam dunia medis kelamin ganda atau kerancuan kelamin disebut dengan ambiguous genitalia yang berarti alat kelamin meragukan. Sejak tahun 2007 para ahli endokrin menggunakan istilah Gangguan Perkembangan Seksual (GPS) atau Disorders of Sexual Development (DSD) yang dianggap ‘netral’ bisa menggambarkan kondisi yang dimaksudkan, serta dipahami artinya bagi penderita, keluarga serta para tenaga medis. Istilah kelamin ganda mengandung konotasi negatif (pelecehan) dan tidak menguntungkan bagi para penderita dan keluarga, sehingga istilah kelamin ganda tak lagi digunakan, dan menyebutnya dengan kerancuan kelamin.
Tidak mudah bagi orang tua dan juga si anak yang mengalami kerancuan kelamin. Untuk itu diperlukan edukasi, konseling dan penanganan medis yang tepat. Sebagaimana dijelaskan oleh Ketua Tim Penyesuaian Kelamin, Prof.dr. Sultana, Ph.D. bahwa untuk menangani pasien kerancuan kelamin dibutuhkan tim medis yang kuat. “Untuk itu kami membentuk tim khusus yang terdiri dari dokter spesialis bedah urologi,bedah anak, bedah plastik, obgin, endokrin anak dan dewasa, psikiater, Psikolog, genetika, andrologi, kulit dan kelamin, spesialis anastesi untuk memberi pengobatan medis dan dukungan konseling hingga pasien tersebut mendapatkan legalitas dan pengakuan jenis kelamin pria atau wanita”, ujar Prof. Sultana.
Secara medis, penyakit yang memberikan gejala Gangguan Perkembangan Seksual (GPS) yang terbanyak adalah Androgen Insensitivity Syndrome (AIS) bila pada laki-laki (yang memiliki kromosom 46, XY) dan Congenital Adrenal Hyperplasia (CAH) bila pada wanita (yang memiliki kromosom 46, XX).
Kendala yang sebelumnya dialami orang tua yang masih tabu dan cenderung menyembunyikan anaknya yang menderita kerancuan kelamin. Selain itu juga belum adanya kesadaran penderita untuk rutin mengkonsumsi obat dan berobat secara teratur, juga keterbatasan obat yang persediaannya terbatas d Indonesia menjadi kendala untuk menangani pasien kerancuan kelamin.
Saat ini kendala tersebut sudah dapat diatasi. Rumah Sakit Nasional Diponegoro (RSND) Undip sudah menyediakan obat untuk pasien kerancuan kelamin. Harapannya dengan penanganan medis yang cepat didukung dengan edukasi yang tepat serta konseling yang mendukung dapat membantu pasien kerancuan kelamin menemukan dan bangga dengan jati dirinya.(Utami-Humas)