Upacara tradisional sedekah laut atau sering disebut juga dengan pesta lomban merupakan upacara tradisional yang diselenggarakan masyarakat Jepara khususnya yang bermata pencaharian sebagai nelayan. Tradisi ini dipelihara dan dilaksanakan oleh masyarakat nelayan di sekitar Desa Ujung Batu dan merupakan puncak sekaligus penutup acara Syawalan yang diselenggarakan seminggu setelah Hari Raya Idul Fitri. Tujuan penyelenggaraan upacara tradisi sedekah laut sebagai ungkapan syukur terhadap Tuhan YME, meskipun di sisi lain masih terkait dengan tradisi lama dengan mengaitkan rasa syukur tersebut kepada penguasa laut.
Tradisi sedekah laut menjadi hal yang menarik bagi tim peneliti Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro, Dra. Sri Indrahti, M.Hum., Dr. Dra. Siti Maziyah, M.Hum., Dr. Alamsyah, M.Hum dan Yanuar Yoga Prasetyawan, M.Hum, untuk menggali lebih jauh lagi mengenai makna-makna yang terdapat dalam tradisi kebudayaan masyarakat Jepara, salah satunya adalah Upacara Sedekah Laut yang rutin dilaksanakan oleh masyarakat Desa Ujung Batu, Jepara. Penelitian ini selaras dengan Pola Ilmiah Pokok (PIP) Undip yaitu Tropical and Coastal Region Eco-development atau Pengembangan Ekologis Wilayah Pesisir dan Tropis.
“Ajaran agama Islam telah berakulturasi dengan kepercayaan dan adat kebiasaan masyarakat Desa Ujung Batu. Kebiasaan selamatan kepada penguasa laut yang dilakukan oleh nelayan di Desa Ujung Batu menjadi salah satu bentuk akulturasi. Masyarakat nelayan memiliki kepercayaan apabila tradisi tersebut ditiadakan maka akan timbul bencana seperti ombak yang terlalu lama, angin kencang, dan pohon-pohon besar runtuh, yang menimpa masyarakat nelayan” tutur Sri Indrahti, salah satu tim peneliti sekaligus Dosen Sejarah Undip.
“Sedangkan tahapan sedekah laut, antara lain arak-arakan kerbau, pemotongan kerbau, selamatan dan ziarah, pentas wayang kulit di tempat pelelangan ikan Ujung Batu, upacara pelarungan sesaji di TPI dan pesta lomban” tuturnya.
“Pesta lomban menjadi hal yang menarik karena merupakan puncak acara dari pekan Syawalan yang diselenggarakan pada tanggal delapan Syawal atau satu minggu setelah Idul Fitri. Sajian utama pada pesta ini adalah kupat, sehingga sering pula dinamakan sebagai bodo kupat. Menurut masyarakat Jepara, lomban berasal dari kata lomba-lomba atau lelumban yang artinya bersenang-senang setelah menjalani puasa selama sebulan penuh di bulan Ramadhan” lanjutnya.
Foto: Dra. Sri Indrahti, M.Hum., bersama warga setempat melihat prosesi pelarungan (Sumber: Dukumentasi Peneliti)
Lebih jauh Sri Indrahti menjelaskan setelah sesaji yang terdapat pada miniatur kapal dilepas, maka para nelayan menceburkan diri ke laut untuk berebut mengambil sesaji dan dimulailah “perang teluk” itu dari kapal-kapal lainnya. “Perang teluk” menggunakan kupat dan lepet sebagai pelurunya. Perang itu diakhiri dengan mendaratkan perahu ke Pantai Kartini, yang dahulu merupakan Pulau Kelor. Setelah acara pelarungan selesai, di TPI Ujung Batu kembali dilakukan selamatan dengan menyelenggarakan pagelaran wayang kulit.
“Penelitian ini menunjukkan banyaknya tradisi budaya yang menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Jepara. Tradisi budaya sedekah laut dengan berbagai ragam kulinernya mempunyai makna simbolis mendorong spirit para nelayan dalam melakukan penangkapan ikan di laut serta harapan keselamatan dalam menjalankan pekerjaannya sebagai nelayan dan sebagai simbol yang berkaitan dengan kejayaan jepara sebagai kota maritim” pungkasnya. (Linda Humas)