Prodi Psikiatri FK UNDIP Kupas Tentang Bipolar dan Tatalaksananya

Program Studi (prodi) Pendidikan Dokter Spesialis Psikiatri, Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Diponegoro (Undip) bersama dengan Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) Cabang Semarang telah menggelar Webinar mengenai Bipolar dan Tatalaksana pada Jum’at (11/03) pukul 13.00 WIB di platform Zoom meeting dan live streaming official channel Youtube UndipTV.

Webinar digelar dalam rangka mengedukasi masyarakat mengenai Bipolar dan Tatalaksananya. Webinar kali ini turut mengundang dr. Widodo Sarjana AS, MKM, Sp.KJ., yang membawakan materi seputar Pengenalan Gangguan Bipolar dan dr. Titis Hadiati, Sp.KJ., yang menyampaikan materi seputar Tatalaksana Terkini Gangguan Afektif Bipolar.

dr. Widodo Sarjana AS, MKM, Sp.KJ., menjelaskan gangguan bipolar merupakan suatu bentuk gangguan yang menyebabkan terjadinya perubahan perasaan/mood yang sangat ekstrim. Hal ini membuat perasaan orang yang mengalaminya bisa berubah secara drastis dari sangat bahagia menjadi sangat sedih.

“Bisa berayun sangat ekstrem ke atas maupun ke bawah perasaannya sehingga disebut sebagai kondisi yang manik ketika dia ke atas dan depresif ketika dia down ke bawah. Mood swing yang paling rendah itu depresi dan yang paling tinggi ke mania. Resiko yang terberat pada saat terjadi depresi itu adalah perilaku bunuh diri. Kemudian resiko terberat pada saat manik adalah perilaku-perilaku yang beresiko misalnya dalam pekerjaan atau lebih tepatnya fungsi peran, kemudian hubungan dengan masyarakat, hubungan dengan keluarga atau relasi sosial. Ini definisinya gangguan bipolar. Jadi inti dari gangguannya adalah adanya perubahan perasaan yang sangat ekstrem untuk naik dan turun.” jelas dr. Widodo.

Gangguan bipolar dapat dialami oleh pria dan wanita di segala usia. Bisa terjadi di semua kelas sosial, kelompok etnik, dan ras. Menurut WHO, gangguan bipolar termasuk penyebab utama ke-6 kecacatan di dunia. Biasa terjadi pada usia 25 tahun, namun kadang-kadang juga bisa muncul dari masa kanak-kanak sampai usia 50 tahun.

Menurut dr. Widodo dari penelitian meta analisis ditemukan bahwa wanita tiga kali lebih banyak mengalami siklus gangguan bipolar dengan siklus yang cepat. “Kemudian setidaknya ada 25% sampai 50% orang dengan gangguan bipolar ini mencoba bunuh diri satu kali. Jadi bisa kita bayangkan kalau ada 10 orang mengalami gangguan ternyata bisa sampai separuhnya itu sudah pernah mencoba melakukan percobaan bunuh diri 1 kali saat dia mengalami gangguan bipolar tersebut.” terangnya.

Ada beberapa gejala yang biasa dialami pada saat mania/hypomania, yaitu diantaranya merasa bahwa dirinya orang yang paling hebat, penurunan kebutuhan untuk tidur, dan sangat bersemangat. Sedangkan gejala pada saat depresi diantaranya ialah suasana hati tertekan, penurunan atau penambahan berat badan, insomnia atau hypersomnia, dan merasa tidak berharga.

dr. Widodo menambahkan ada beberapa penyebab gangguan bipolar bisa terjadi, yaitu faktor genetik, adanya struktur otak, faktor-faktor stres dari sosial dan lingkungan, dan model Diatesis-Stres. “Kerabat tingkat pertama (orang tua, anak-anak, saudara kandung) lebih mungkin untuk memiliki gangguan mood. Apalagi kalau kembar identik, kemungkinan kembarannya akan mengalami gangguan bipolar sebesar 40% hingga 70%. Untuk kembar fraternal diperkirakan sekitar 5% hingga 10%.” jelasnya.

“Struktur atau fungsi otak juga mempunyai peranan dalam penyebab gangguan bipolar. Tingkat rendah atau tingginya neurotransmiter spesifik. Disini yang memegang peranan untuk keseimbangan moodnya adalah serotonin, norepinefrin, atau dopamin yang dikaitkan dengan gangguan mood.” sambung dr. Widodo.

Selain itu, faktor sosial menjadi salah satu penyebab terjadinya gangguan bipolar. Stres yang ditimbulkan dari faktor sosial meningkatkan tingkat kortisol dalam tubuh. Namun hal ini masih dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai tingkat kortisol di masing-masing individu yang berbeda-beda.

Kemudian penyebab lainnya ialah model Diatesis-Stres. Menutur dr. Widodo, model Diatesis-Stres merupakan kondisi fisik/psikis yang membuat seseorang lebih rentan dari biasanya terhadap penyakit tertentu. Setiap orang mewarisi kerentanan yang berbeda-beda terhadap setiap masalah yang muncul, tergantung pada stres apa yang terjadi dalam hidupnya.

Sementara itu, dr. Titis Hadiati, Sp.KJ., menyampaikan materi mengenai tatalaksana terkini gangguan afektif bipolar. Gangguan afektif bipolar merupakan gangguan jiwa yang ditandai oleh gejala-gejala manik, depresi, dan campuran, biasanya rekuren serta dapat berlangsung seumur hidup. “Pada gangguan bipolar biasanya mengalami perubahan mood disertai dengan perubahan yang serius pada energi dan perilaku.” ucap dr. Titis.

Seorang dokter tetap harus melakukan tinjauan riwayat medis dengan perhatian khusus pada riwayat pribadi dan keluarga dari gangguan kardiovaskular, endokrin, dan metabolisme karena insiden komorbiditas medis lebih tinggi pada bipolar. Sebelum memberikan pengobatan, perlu memeriksakan pasien dengan pemeriksaan penunjuang seperti pemeriksaan laboraturium. Selain itu dokter juga wajib memantau efek samping dari obat yang telah diberikan pada saat pasien datang untuk terapi.

“Gangguan afektif bipolar ini pengobatan utamanya lebih kita berikan ke farmakoterapi atau dengan obat-obatan. Kita juga perlu mengevaluasi mengenai kepatuhan pengobatan. Sebanyak 60% pasien dengan gangguan bipolar tidak patuh atau kurang patuh terhadap farmakoterapi. Hal ini dipengaruhi oleh antara lain pemahaman atau penyangkalan penyakit yang buruk, kekhawatiran tentang atau pengalaman efek samping obat, kemanjuran obat yang tidak memadai,dan gangguan kognitif, sehingga dokter harus secara rutin memantau munculnya ide bunuh diri tidak hanya ketika mengobati episode akut tetapi juga selama perawatan pemeliharaan.” jelas dr. Titis.

dr. Titis menambahkan pengobatan gangguan afektif bipolar dapat juga dilakukan dengan non farmakoterapi berupa intervensi psikososial. Intervensi psikososial ini meliputi cognitive behavioral therapy (CBT), terapi keluarga, terapi interpersonal, terapi kelompok, dan psikoedukasi. “Intervensi psikososial sangat diperlukan untuk proses penyembuhan.” pungkasnya.

 

Share this :

Category

Arsip

Related News