Keluasan alam, keindahan seni budaya, dan harmoni kehidupan yang senantiasa bergerak mengundang para pengagumnya menjelajah tiap jengkal bagiannya. Inilah yang tampaknya muncul untuk menggambarkan antusiasme peserta Summer Course FIB UNDIP 2022 yang mengangkat topik Traditional Arts as Indonesian Cultural Heritage yang berlangsung pada 8-14 Agustus 2022. Pada hari ketiga, 10 Agustus acara tersebut menampilkan pembicara Dr. Sukarjo Waluyo, M.Hum. dari Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Diponegoro (Undip) dan Wati Istanti, M.Pd., dari FPBS, Universitas Negeri Semarang.
Dr. Sukarjo Waluyo membawakan materi “Kethoprak: Kisah Heroisme Para Ksatria Jawa” mengungkapkan bahwa kesenian kethoprak adalah sebuah pertunjukan drama tradisional Jawa yang pada mulanya berasal dari Solo. Kesenian ini pada awalnya adalah sebuah media hiburan saat wabah pes melanda di Kota Solo pada sekitar tahun 1920-an untuk masyarakat yang sedang menjalani masa karantina. Cerita yang ditampilkan juga hanyalah cerita-cerita sederhana. Dalam perkembangannya, kesenian kethoprak identik sebagai kesenian rakyat yang populer, kedudukannya bahwa seringkali diposisikan berseberangan dengan kesenian wayang yang seringkali diidentikkan sebagai seni elitis (kesenian bangsawan).
Dr. Sukarjo Waluyo lebih lanjut mengungkapkan bahwa kethoprak sebagai kesenian yang populer di berbagai daerah di Jawa ini dalam pementasannya secara umum bisa dibagi menjadi tiga macam. Pertama, kethoprak yang menampilkan cerita masa Majapahitan (Hindu-Budha, antara 1200—1400-an. Hal ini ditandai dengan kostum Majapahitan dengan latar cerita era Kerajaan Majapahit, Kediri, Singasari, dan pendaratan Laksamana Cheng Ho di Jawa. Kedua, kethoprak yang menampilkan cerita masa Demak (pra-Islam, antara akhir 1400-an – akhir 1500-an). Hal ini ditandai dengan kostum yang sudah tampak pengaruh Islam dan Melayu dengan latar cerita era Kesultanan Demak dan beberapa kota penting lain, seperti Jepara, Kudus, Cirebon, Banten, dan Palembang. Beberapa lakon bisa juga menampilkan kisah tentang Melayu, Baghdad, dan Turki. Ketiga, kethoprak yang menampilkan cerita masa Mataraman (1600-an—zaman kolonial Belanda). Hal ini ditandai dengan kostum yang sudah tampak pengaruh kostum Jawa modern/Mataraman dengan latar cerita pada era Kesultanan Pajang, Kerajaan Mataram Islam, dan dinasti-dinasti penerusnya (Kasunanan Surakarta, Kesultanan Yogyakarta, Mangkunegaran, dan Pakualaman).
Solo Kota Kelahiran Kethoprak
Dr. Sukarjo Waluyo menjelaskan pentingnya Kota Solo yang banyak disebut sebagai kota kelahiran kesenian kethoprak ini. Solo tempo dulu adalah ibukota kerajaan yang sekaligus menjadi pusat percaturan politik, ekonomi, pengetahuan, dan kesenian tanah Jawa. Di Kota Solo terdapat Kraton Kasunanan Surakarta dan Kraton Mangkunegaran yang merdeka. Di kota ini juga terdapat perwakilan pemerintah kolonial Belanda di Jawa yang berfungsi sebagai institusi kontrol politik dan ekonomi.
Sebagai tempat sang raja berkuasa, Solo adalah salah satu pusat perekonomian Jawa yang banyak mendapatkan keuntungan karena keuntungan perkebunan teh, kopi, tembakau, karet, tebu, dan hasil beras yang melimpah. Juga berdirinya pabrik-pabrik gula untuk memenuhi kebutuhan gula dunia yang konon 30 persen disuplai dari Jawa. Solo juga menjadi pusat kesenian dan kebudayaan Jawa. Di Solo banyak didirikan pusat-pusat hiburan dan rekreasi, misalnya Taman Sriwedari dan tempat peristirahatan serta wisata alam Tawangmangu di lereng Gunung Lawu.
Pada era sekarang ini, kethoprak telah menjadi kesenian rakyat yang bermetamorfosis lebih luas lagi. Pementasan kethoprak saat ini telah berkembang menjadi pementasan drama modern bernuansa Jawa. Pementasan sudah memanfaatkan media modern dan berkolaborasi dengan genre seni-seni lain, seperti seni musik, seni suara, seni instalasi, bahkan sinematografi. Seni kethoprak juga berfungsi menjadi ruang komunikasi dan edukasi dan menjadi milik banyak segmen masyarakat.
Para tokoh masyarakat atau institusi bahkan rela meluangkan waktu di tengah kesibukan untuk sebuah pementasan kethoprak. Kethoprak saat ini bahkan dipentaskan oleh pejabat publik, seperti Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Universitas Diponegoro dan Universitas Indonesia adalah dua kampus yang sangat antusias menyelenggarakan pementasan kethoprak.
Tari Gambang Semarang
Sementara itu Wati Istansi, M.Pd., dosen dari Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra (FPBS), Universitas Negeri Semarang menyampaikan materi tentang tari tradisional yang ada di Indonesia, khususnya Gambang Semarang. Gambang Semarang adalah kesenian musik tradisional yang berasal dari Semarang. Tari ini jika kita cermati merupakan gabungan dari seni musik, vokal, dan tari (kadang ditambah dengan lawak). Ciri khas dari kesenian ini adalah alunan musik yang mengiringinya secara dinamis sesuai irama lagu. Alat musik yang dipakai adalah bonang, gambang, gong suwuk, kempul, peking, saron, kendang dan ketipung. Tarian ini merupakan akulturasi budaya beberapa etnis yang ada di Semarang. Beberapa perintis, di antaranya Lie Ho Sun dan Oey Yok Siang.
Wati Istansi, M.Pd., yang merupakan kandididat doktor dari Program Doktoral UNS Solo ini mengungkapkan bahwa kesenian Gambang Semarang merupakan turunan kesenian Betawi Gambang Kromong yang memang lekat dengan budaya kalangan Tionghoa. Gambang Semarang pada mulanya merupakan gagasan Lie Ho Sun, pada tahun 1930 untuk membawa dan mengembangkan Gambang Kromong di Semarang. Gagasan tersebut disampaikan kepada Burgermeester (walikota) dan langsung mendapatkan tanggapan baik. Lie Ho Sun sendiri adalah anggota Volksraad yang gemar bermain musik keroncong.
Tari Gambang Semarang atau Tari Semarangan ini menggunakan tiga ragam gerak baku, yaitu ngondhek, genjot, ngeyek dan ketiganya merupakan gerakan yang berpusat pada pinggul. Selain itu terdapat pula gerakan jalan tepak, geyol, ngiting, mendak (mengibaskan sampur), dan selut (silang dua tangan ke depan bukak samping).
Gerakan ngondhek adalah gerakan seperti mengayuh sepeda. Gerakan tepak adalah gerakan dengan telapak kaki berjungkit. Gerakan megol adalah gerakan goyang pinggul dan gerakan ngeyek adalah gerakan pinggul berputar. Gerakan tangan (lambeyan) yang menyertai ketiga ragam gerak itu merupakan gerakan yang berpangkal pada pergelangan tangan dengan media gerak sebatas pusar hingga pandangan mata. Goyangan pinggul seperti ombak air laut yang menghiasi Tari Gambang Semarang juga terinspirasi Laut Jawa yang berada di utara Semarang. Seni lawak yang terdapat pada tarian ini merupakan salah satu identitas budaya yang melambangkan bahwa orang Semarang mudah bergaul.
Dalam kesempatan tersebut, dosen muda yang telah berkeliling berbagai negara untuk mengajarkan BIPA itu juga mengajak para peserta dari berbagai kampus luar negeri tersebut untuk melakukan praktik menari. Acara summer course yang berlangsung secara daring tersebut semakin meriah dengan acara menari bersama yang tampak dalam layar laptop masing-masing peserta. (SW)