Universitas Diponegoro kembali mengukuhkan tiga guru besar, Selasa (12/9) di Gedung Prof. Sudarto, S.H. Tembalang. Dalam pengukuhan sesi pagi, ketiga guru besar yang dikukuhkan adalah Prof. Dr. Dian Wijayanto, S.Pi., M.M., M.S.E. (Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan); Prof. Dr. Ir. Endang Purbowati, M.P. (Fakultas Peternakan dan Pertanian); dan Prof. Dr. Ir. Heru Prastawa, D.E.A. (Fakultas Teknik).
Dalam pidato ilmiahnya Prof. Dian menyampaikan permasalahan overfishing (penangkapan berlebihan), ia menyebutkan saat ini telah menjadi permasalahan utama perikanan tangkap di dunia, termasuk Indonesia, yaitu sekitar 35% stok ikan dunia sudah mengalami overfished (eksploitasi berlebihan). Hal itu perlu menjadi perhatian dunia mengingat perikanan tangkap memiliki kontribusi relatif besar dalam suplai pangan, penyediaan lapangan pekerjaan, pengentasan kemiskinan maupun pertumbuhan ekonomi.
“Permasalahan penangkapan berlebihan dapat dicegah dan dikurangi melalui manajemen perikanan yang berkelanjutan, diantaranya penetapan jumlah tangkapan diperbolehkan (kuota), pembatasan pada alat, daerah penangkapan ikan, waktu penangkapan, ukuran minimal ikan yang boleh ditangkap, jumlah armada dan upaya penangkapan, serta kebijakan pajak, subsidi, maupun lisensi. Tim peneliti dari Undip sudah mengembangkan beberapa model bioekonomi sebagai salah satu sumbangsih pada pengembangan ilmu bioekonomi,” terangnya.
Sementara Prof. Endang menyampaikan pidato ilmiahnya yang berjudul “Produksi Daging Domba Rendah Lemak, Berkelanjutan, dan Ramah Lingkungan: Sebuah Paradigma Baru”. Peningkatan jumlah populasi domba untuk pangan sangat tidak disarankan, mengingat gas metana akibat hasil pencernaan akan mempengaruhi perubahan iklim, ditambah semakin menipisnya lahan produksi pangan karena semakin bertambahnya lahan hunian. Solusinya, meningkatkan dan memperpendek waktu produksi. Saat ini konsumen menginginkan daging rendah lemak, sehingga perlu strategi dalam produksi daging domba rendah lemak, yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.
“Produktivitas ternak dipengaruhi faktor ternak dan pakan. Penggemukan domba lepas sapih selama 3 bulan lebih efisien, serta dapat menghasilkan daging yang empuk dan rendah lemak pada bobot potong 20 kg. Pakan komplit bentuk pellet untuk menghasilkan daging domba rendah lemak adalah dengan protein kasar (PK) 15% dan total digestible nutrients (TDN) 60%. Penggantian rumput gajah dengan sisa agroindustri tidak berdampak buruk terhadap lingkungan,” ungkapnya.
Selanjutnya Prof. Heru Prastawa dalam materi ilmiahnya yang berjudul “Rekayasa Faktor Manusia dan Masyarakat 5.0: Membentuk Masa Depan yang Berpusat pada Manusia” membahas pada masyarakat 5.0, masyarakat diharapkan mampu menyelesaikan berbagai tantangan dan permasalahan sosial dengan memanfaatkan berbagai inovasi yang lahir di era revolusi industri 4.0 untuk meningkatkan kualitas hidup manusia. Rekayasa Faktor Manusia/Human Factor Engineering/Ergonomi mempelajari prinsip-prinsip kerja yang dilakukan oleh manusia dalam hubungannya dengan elemen-elemen dalam sebuah sistem. Dalam Ergonomi, keterbatasan dan kelebihan manusia diharmonisasikan dalam sebuah sistem kerja untuk mencapai kinerja yang efisien, nyaman, aman, sehat dan efektif. Kehadiran Masyarakat 5.0 tidak dapat dihindari. Masyarakat dituntut untuk memiliki Kemampuan HOTS (High Order Thinking Skills) yaitu memiliki pemikiran kritis dan lebih cepat dalam menghasilkan solusi untuk memenuhi kebutuhannya. Untuk menyikapi pengaruh Masyarakat 5.0, maka perlu meningkatkan kemampuan adaptability (beradaptasi), agility (kelincahan), mobility (mobilitas), dan reaktivity (reaktivitas) yang menjadi kata kunci dalam kehidupan masyarakat 5.0, juga perlunya meningkatkan kolaborasi dalam segala aspek.
“Rekayasa Faktor Manusia memainkan peran penting dalam membentuk masa depan yang berpusat pada manusia di Masyarakat 5.0. Dengan berfokus pada desain yang berpusat pada pengguna, memfasilitasi kolaborasi manusia-mesin, mengatasi adaptasi tenaga kerja, dan memperhatikan pertimbangan etis, HFE memastikan bahwa teknologi meningkatkan kesejahteraan, produktivitas, dan keberlanjutan,” pungkasnya. (LW/Warnoto-Humas)
.