Hujan yang mengguyur Kota Semarang secara terus menerus sejak beberapa waktu lalu menyebabkan genangan air dan melumpuhkan aktivitas di beberapa titik di Kota Semarang. Namun, banjir ini tidak hanya disebabkan oleh curah hujan yang tinggi saja. Ada beragam faktor yang membuat Kota Semarang memiliki potensi tinggi untuk mengalami banjir.
Menurut Guru Besar Departemen Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Universitas Diponegoro, Prof. Dr.-Ing. Wiwandari Handayani, S.T., M.T., MPS, kondisi geografis dan fenomena iklim memperbesar kerentanan banjir di Semarang. Dalam wawancara beliau dengan CNN Indonesia pada Jumat, 15 Maret 2024, topografi Semarang yang berada di kawasan tinggi ke rendah, lalu naiknya muka laut, serta terjadinya penurunan tanah akibat penggunaan air tanah yang berlebihan, memperbesar kemungkinan untuk terjadinya banjir di Kota Semarang ketika terjadi cuaca ekstrem seperti sekarang.
“Secara geografis, topografinya (Semarang) itu dari tinggi ke rendah, kemudian ditambah adanya fenomena iklim berupa kenaikan muka laut, dan juga terjadinya land subsidence (penurunan tanah), dan tentunya disebabkan oleh cuaca ekstrem,” ungkapnya.
Prof Wiwandari menambahkan, meskipun letak kota Semarang berada di daerah pesisir, banjir yang terjadi di kota Semarang tidak semuanya berupa banjir rob. Perubahan tata guna lahan di daerah hulu akibat pembangunan yang berlebihan menyebabkan berkurangnya wilayah resapan air, sehingga menimbulkan limpasan deras dan banjir di kawasan hilir.
“Memang jenis banjir di Kota Semarang itu karena faktor yang berbeda-beda. Karena faktor geografis, topografinya yang bervariasi. Ketika ada perubahan tata guna lahan di daerah hulu dari lahan non terbangun menjadi terbangun, akhirnya resapan air berkurang sehingga limpasan semakin deras menuju ke pesisir,” ujarnya.
Terkait penurunan tanah di Semarang, fenomenanya sudah terlihat jelas sejak akhir tahun 1990-an. Tanah aluvial muda yang terbentuk dari sedimentasi di pesisir Semarang sejak awal memang kurang kuat untuk menampung aktivitas perkotaan. Hal ini diperparah juga dengan banyaknya industri yang menggunakan air tanah secara berlebihan. Akibatnya, tanah Semarang terus mengalami penurunan. Menurutnya, aktivitas industri perlu diawasi dengan lebih ketat untuk mencegah penurunan tanah ini.
“Kalau menurut saya, melihat dari sisi masyarakat, memang di beberapa bagian pesisir, seperti pesisir bagian timur seperti Kaligawe dan Pedurungan itu memang daerah padat penduduk. Tetapi yang menggunakan air tanah yang banyak itu sebenarnya industri. Jadi mungkin apabila kita ingin mengantisipasi penurunan air tanah yang disebabkan oleh penggunaan air tanah ini yang paling efektif adalah jika kita memonitor penggunaan air tanah oleh industri yang berlokasi di sepanjang pesisir.”
Selain banjir, kota Semarang juga perlu memperhatikan potensi longsor di kawasan perbukitan. Fenomena tanah longsor di Ngaliyan bagi Prof Wiwandari bukan hanya disebabkan oleh banjir, tapi juga adanya pergerakan tanah yang diakibatkan oleh aktivitas lempeng tektonik di wilayah perbukitan Semarang.
“Kalau di daerah-daerah perbukitan memang ada pergerakan tanah karena memang beberapa daerah di wilayah itu sebenarnya rentan terhadap gerakan tanah dan rawan longsor. Jadi, selain banjir, ada juga risiko bencana lainnya,” jelasnya.
Prof Wiwandari menyarankan, perlu adanya pengendalian pemanfaatan ruang yang lebih transformatif, integratif, dan komprehensif di Kota Semarang. Selama ini, menurutnya, solusi yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Semarang masih banyak berkutat di hilir. Baginya, perlu adanya kolaborasi integratif dari hulu ke hilir antara Pemerintah Kota Semarang dengan institusi-institusi pemerintah lainnya yang juga terlibat dalam penanganan banjir di Semarang, seperti BBWS Pemali-Juana.
“Terkait upaya pemerintah, pentingnya pemahaman bahwa ketika kita berbicara tentang banjir itu dari hulu ke hilir. Kebanyakan kota (penanganannya) di hilir. Padahal penanganan banjir harusnya integratif dari hulu ke hilir. Jadi, kerja sama pemerintah secara horisontal perlu diperhatikan,” kata Prof Wiwandari.
Selain itu, ia juga menyarankan perlunya pembangunan pusat-pusat ekonomi baru secara bertahap. Hal ini ditujukan untuk mengurangi beban kota-kota pesisir yang sudah kelebihan muatan.
“Jadi saya kira, kalau ada pembagian peran dan beban, serta secara paralel juga ada intervensi yang integratif, maka kita perlu optimis bahwa masalah ini (banjir) bisa terlalui. Karena sekarang ini juga Semarang bisa banjir parah karena ada faktor cuaca ekstrem. Artinya, sudah ada upaya dalam kondisi normal untuk mengurangi kejadian banjir,” pungkasnya.
Sumber: Fakultas Teknik UNDIP.