Program MBKM: Antara Harapan dan Realita, Sudahkah Kampus Siap?

Program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) yang digagas oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) lahir dengan janji transformasi besar-besaran di dunia pendidikan tinggi Indonesia. Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No. 3 Tahun 2020 Pasal 15 ayat 1 sebagai pijakan hukumnya, MBKM menawarkan kebebasan akademik yang tidak pernah ada sebelumnya. Program ini memberikan fleksibilitas kepada mahasiswa untuk memperoleh pengalaman belajar di dalam maupun di luar program studi (prodi) mereka, mencakup berbagai aktivitas, seperti: 1) Pertukaran Pelajar, 2) Magang/Praktik Kerja, 3) Asistensi Mengajar di Satuan Pendidikan, 4) Penelitian/Riset, 5) Proyek Kemanusiaan, 6) Kegiatan Wirausaha, 7) Studi/Proyek Independen, 8) Membangun Desa/Kuliah Kerja Nyata (KKN) Tematik, 9) Bela Negara.

Dicanangkan dengan harapan besar, MBKM dirancang untuk memberikan kebebasan kepada mahasiswa dalam mengeksplorasi pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman di luar batas-batas ruang kelas tradisional. Namun, meskipun visi ini tampak menjanjikan di atas kertas, kenyataan di lapangan justru menunjukkan sisi lain yang tidak kalah mencolok. Ketidaksiapan perguruan tinggi dalam mengakomodasi dan mengimplementasikan program ini menjadi batu sandungan yang mengancam keberhasilan MBKM secara keseluruhan.

Mimpi Besar MBKM: Visi yang Terjebak dalam Realita

Secara konsep, MBKM menawarkan kebebasan akademik yang belum pernah ada sebelumnya di Indonesia. Mahasiswa dapat memilih untuk mengambil mata kuliah di luar prodinya, magang di perusahaan, terlibat dalam proyek pengabdian di desa, hingga berpartisipasi dalam pertukaran pelajar antar-universitas. Di atas kertas, program ini tampak sebagai solusi ideal untuk menciptakan lulusan yang lebih adaptif, inovatif, dan siap kerja. Namun, realitas di lapangan menunjukkan sebaliknya.

Ketidaksiapan infrastruktur di sebagian besar kampus menjadi hambatan utama. Sistem informasi yang belum terintegrasi menyebabkan kesulitan dalam pengelolaan konversi kredit dari berbagai aktivitas MBKM. Banyak kampus yang masih mengandalkan sistem manual atau setengah digital, yang tidak hanya mempersulit proses administrasi tetapi juga berpotensi menimbulkan ketidakadilan bagi mahasiswa. Kurangnya koordinasi antara fakultas, jurusan, dan pusat pengelolaan MBKM membuat banyak mahasiswa terjebak dalam kebingungan, tanpa panduan yang jelas mengenai langkah-langkah yang harus diambil untuk memanfaatkan program ini secara maksimal.

Program Magang: Tantangan Ketidaklinieran dan Konversi SKS

Salah satu elemen penting dari MBKM adalah program magang yang memberikan kesempatan bagi mahasiswa untuk merasakan langsung dunia kerja sebelum lulus. Program ini diharapkan dapat menjembatani kesenjangan antara teori yang dipelajari di kampus dan keterampilan praktis yang dibutuhkan oleh industri. Namun, tantangan besar muncul ketika pengalaman magang ini tidak linier dengan program studi mahasiswa, menyebabkan kesulitan dalam konversi Satuan Kredit Semester (SKS).

Banyak mahasiswa yang terlibat dalam program magang di perusahaan atau industri yang relevan dengan minat mereka, namun tidak selalu sesuai dengan bidang studi utama mereka di kampus. Misalnya, seorang mahasiswa Teknik Industri yang magang di perusahaan teknologi informasi mungkin menemukan bahwa kegiatan yang mereka lakukan selama magang tidak sepenuhnya diakui oleh jurusannya, karena dianggap tidak sejalan dengan kurikulum teknik industri yang kaku. Akibatnya, mahasiswa sering kali harus berjuang untuk mendapatkan pengakuan akademis yang sepadan dengan upaya dan waktu yang mereka curahkan selama magang.

Ketidaklinieran ini sering kali diperparah oleh kurangnya panduan yang jelas dari kampus mengenai bagaimana magang di luar bidang studi utama dapat dikonversi menjadi kredit akademik. Beberapa kampus bahkan masih memberlakukan syarat ketat yang membatasi pilihan magang hanya pada industri atau bidang yang secara langsung berhubungan dengan prodi, mengabaikan potensi pengembangan keterampilan lintas disiplin yang justru menjadi salah satu tujuan utama MBKM.

Sumber Daya Manusia: Kekurangan Kapasitas dan Pelatihan

Tidak hanya infrastruktur yang belum siap sepenuhnya, masalah Sumber Daya Manusia (SDM) di kampus juga menjadi sorotan tajam. Dosen dan tenaga pendidik sering kali tidak mendapatkan pelatihan yang cukup untuk memahami dan menerapkan kurikulum berbasis MBKM. Banyak dosen yang masih terpaku pada metode pengajaran tradisional dan merasa terbebani dengan perubahan yang cepat dan mendasar seperti yang dituntut oleh MBKM.

Lebih dari itu, adaptasi kurikulum MBKM yang mengharuskan integrasi berbagai mata kuliah lintas disiplin masih menghadapi penolakan di beberapa kalangan akademisi. Keterbatasan dalam pemahaman mengenai bagaimana mengonversi pengalaman non-akademik, seperti magang dan proyek desa, menjadi kredit akademik juga menjadi permasalahan yang belum terpecahkan. Sebagai akibatnya, mahasiswa sering kali mendapati bahwa pengalaman yang mereka dapatkan di luar kampus tidak diakui secara memadai oleh institusi mereka.

Kebijakan Kampus yang Tidak Sejalan: Regulasi yang Menghambat

Salah satu tantangan terbesar dalam pelaksanaan MBKM adalah regulasi internal kampus yang belum sepenuhnya mendukung program ini. Banyak perguruan tinggi yang masih terjebak dalam regulasi yang kaku, dengan struktur birokrasi yang lambat dan tidak fleksibel. Hal ini menjadi penghalang besar bagi mahasiswa yang ingin memanfaatkan berbagai peluang yang ditawarkan oleh MBKM.

Sebagai contoh, beberapa kampus masih memberlakukan aturan ketat mengenai jumlah SKS yang bisa diambil di luar prodi utama, meskipun MBKM dirancang untuk memberikan fleksibilitas yang lebih besar. Selain itu, kurangnya dukungan dari pimpinan kampus untuk menjalin kerja sama dengan industri dan lembaga lain membuat program magang dan studi independen sulit diakses oleh mahasiswa. Dalam kondisi ini, MBKM sering kali berakhir sebagai konsep di atas kertas tanpa implementasi yang nyata di lapangan.

Solusi: Membawa MBKM ke Arah yang Lebih Baik

Menghadapi berbagai tantangan ini, penting bagi perguruan tinggi untuk melakukan evaluasi menyeluruh dan merancang strategi yang lebih efektif dalam mengimplementasikan MBKM. Beberapa solusi yang dapat dipertimbangkan antara lain:

  1. Pengembangan Infrastruktur Digital yang Terintegrasi

Kampus harus berinvestasi dalam pengembangan sistem informasi yang terintegrasi, yang mampu mengelola seluruh aspek administrasi MBKM, mulai dari pendaftaran hingga konversi kredit. Sistem ini harus dirancang untuk memberikan kemudahan akses bagi mahasiswa dan dosen, serta mampu mengakomodasi kebutuhan berbagai aktivitas MBKM.

  1. Pelatihan dan Pengembangan SDM

Dosen dan tenaga kependidikan harus diberikan pelatihan yang memadai untuk memahami dan menerapkan kurikulum MBKM. Selain itu, kampus perlu mendorong perubahan mindset di kalangan akademisi untuk lebih terbuka terhadap metode pembelajaran yang inovatif dan lintas disiplin.

  1. Reformasi Regulasi Internal Kampus

Kampus perlu melakukan reformasi terhadap regulasi yang menghambat pelaksanaan MBKM. Ini termasuk memberikan fleksibilitas yang lebih besar kepada mahasiswa dalam memilih mata kuliah dan jalur belajar, serta mendukung kerja sama dengan berbagai pihak eksternal untuk memperkaya pengalaman belajar mahasiswa.

  1. Peningkatan Kerja sama dengan Industri dan Lembaga Lain

Untuk mendukung program magang dan studi independen, kampus harus aktif menjalin kemitraan dengan berbagai industri dan lembaga lainnya. Hal ini tidak hanya memberikan peluang yang lebih luas bagi mahasiswa, tetapi juga memastikan bahwa pengalaman yang mereka dapatkan relevan dengan kebutuhan dunia kerja.

  1. Pengawasan dan Evaluasi Berkelanjutan

Implementasi MBKM harus selalu dievaluasi secara berkala untuk memastikan bahwa program ini berjalan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Pengawasan ini juga penting untuk mengidentifikasi dan mengatasi masalah yang muncul selama pelaksanaan program.

Program Merdeka Belajar Kampus Merdeka adalah langkah maju yang sangat diperlukan dalam sistem pendidikan tinggi di Indonesia. Namun, tanpa kesiapan yang memadai dari pihak kampus, program ini berisiko menjadi sebuah proyek ambisius yang gagal mencapai tujuannya. Dengan langkah-langkah perbaikan yang tepat, MBKM dapat menjadi instrumen yang efektif dalam menciptakan lulusan yang tidak hanya berkompeten secara akademis, tetapi juga memiliki keterampilan dan pengalaman yang relevan dengan kebutuhan dunia kerja yang terus berkembang.

Realisasi MBKM sebagai solusi pendidikan tinggi yang inovatif sangat bergantung pada kesungguhan perguruan tinggi dalam menghadapi tantangan dan meraih peluang yang ada. Jika dikelola dengan baik, MBKM tidak hanya akan mencetak lulusan yang kompeten dan siap bersaing di dunia kerja, tetapi juga akan membentuk generasi yang kreatif, inovatif, dan mampu berkontribusi bagi kemajuan bangsa.

Dengan demikian, perguruan tinggi harus memandang MBKM sebagai peluang untuk bertransformasi dan bukan sekadar beban administratif tambahan. Dengan komitmen yang kuat dari semua pihak yang terlibat, MBKM dapat mengantarkan pendidikan tinggi Indonesia ke arah yang lebih baik, sejalan dengan visi untuk menciptakan generasi muda yang merdeka dalam belajar dan berkarya.

Penulis: M. Irham Maolana (LPM Manunggal-UNDIP)

Share this :

Category

Arsip

Related News