Universitas Diponegoro

Seminar Nasional FH UNDIP “Pidana Mati Bersyarat Jalan Tengah Pro Kontra Abolisionis dan Retensionis”

“Perdebatan mengenai pidana mati dalam konteks hak asasi manusia sebenarnya bukanlah hal yang baru, baik di lingkup dalam negeri maupun di dunia internasional. Terdapat dua aliran yang memiliki pandangan berbeda terkait dengan penerapan pidana mati, yaitu kaum abolisionis dan kaum retensionis” ungkap Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Prof. Dr. Dr. H.M. Syarifuddin, S.H., M.H. yang hadir sebagai Keynote Speech dalam acara Seminar Nasional Menyongsong Berlakunya KUHP Baru “Pidana Mati Bersyarat: Jalan Tengah Pro Kontra Abolisionis dan Rentensionis”, di Ruang Fiat Justicia, Gedung Samiadji Soerjotjaroko, S.H., Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Rabu (11/9).

Lebih lanjut ia menyampaikan bahwa kaum abolisionis berpendapat, pidana mati adalah bentuk penghukuman yang tidak manusiawi dan bertentangan dengan hak asasi manusia yang paling mendasar, yaitu hak untuk hidup. Sedangkan, menurut kaum retensionis pidana mati tetap diperlukan sebagai hukuman tertinggi bagi kejahatan-kejahatan yang sangat serius, seperti pembunuhan berencana, terorisme, narkotika dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Pada sambutannya Prof. Dr. Suharnomo, S.E., M.Si., selaku Rektor UNDIP mengatakan pidana mati sering dianggap sebagai bentuk hukuman paling tegas bagi pelaku kejahatan berat, bahkan pidana mati masih merupakan isu kontroversial sehingga upaya untuk melakukan abolisi atau retensi diwarnai pro kontra dengan argumentasi masing-masing.

“Kami berharap dengan adanya seminar ini dapat mendalami berbagai hal dan berbagai pandangan terkait dengan pidana mati dalam menyongsong berlakunya KUHP Nasional. Kontribusi keilmuan FH UNDIP sangat bermanfaat bagi bangsa serta menjadi barometer. Selain fakultas tertua UNDIP, FH juga diakui secara nasional dan internasional” tutur Prof. Suharnomo.

Dalam kesempatannya, Dr. Sukirno, S.H., M.Si., selaku Ketua Program Studi Doktor Hukum menuturkan Pidana mati dalam sistem hukum di Indonesia sudah cukup mengakar sehingga Prof. Muladi yang merupakan Guru Besar FH UNDIP menyebutnya sebagai “Indonesian Way”, walaupun banyak negara yang telah menghapus pidana mati dalam sistem pemidanaannya.

“Semoga diskusi hari ini berjalan menarik dan membuka cakrawala serta khazanah hukum kita melihat dari berbagai perspektif tentang pidana mati dalam rangka menyongsong KUHP Nasional” pungkasnya. (LW-Humas)

Share this :
Exit mobile version