Fakultas Hukum Universitas Diponegoro dan Keluarga Besar Mahasiswa Hukum Pidana Fakultas Hukum bekerjasama dengan Ikatan Alumni Fakultas Hukum dan Mahkamah Agung Republik Indonesia melaksanakan Seminar Nasional dengan tema “Pidana Mati Bersyarat: Jalan Tengah Pro Kontra Abolisionis dan Retensionis”, Rabu (11/9).
Pembicara dalam seminar ini adalah Dr. Dhahana Putra, Bc.IP., S.H., M.Si. (Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI), Prof. Dr. Pujiyono, S.H., M.Hum. (Guru Besar Bagian Hukum Pidana FH UNDIP), Prof. Dr. Rahayu, S.H., M.Hum. (Guru Besar Bagian Hukum Internasional FH UNDIP), dan Prof. Dr. Shidarta, S.H., M.Hum. (Guru Besar Filsafat Hukum Universitas Bina Nusantara).
Dalam materinya yang berjudul Tanggungjawab Negara dalam Pemenuhan Hak Asasi Manusia bagi Terpidana Mati di Indonesia, Dr. Dhahana menjelaskan undang-undang hukuman mati pertama kali ditetapkan sejak abad ke-18 SM dalam Kitab Undang-undang Raja Hammurabi dari Babilonia (Codex Hammurabi). Pada tahun 1700-an, setidaknya ada sekitar 200 lebih kejahatan yang dapat dijatuhkan hukuman mati di Inggris.
“Indonesia, sudah ada sebelum negara Indonesia terbentuk pada masa-masa kerajaan dan terlihat dari hukum adat sebelum kedatangan Belanda. Penerapan hukuman mati secara menyeluruh di Indonesia terjadi pada 1808 atas perintah Gubernur Jenderal Daendles, melalui peraturan mengenai hukum dan peradilan yang menetapkan tentang penjatuhan hukuman pidana mati sebagai kewenangan Gubernur Jenderal. Setelah Indonesia merdeka dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mulai diberlakukan, Negara Indonesia memberlakukan pidana mati yang tercantum didalam pasal 10 KUHP sebagai bagian dari pidana pokok” tuturnya.
Sementara Prof. Pujiyono menyampaikan materi Pidana Mati Bersyarat Jalan Tengah Problem HAM dan Pemidanaan. Persoalan pidana mati tidak hanya persoalan HAM ( right to life, non – derogable right/iccpr) atau persoalan politik (refleksi kedaulatan nasional: “privilege and control” untuk mengatur) semata mata tetapi juga bersifat “tidak netral dan berwarna” karena akan bersentuhan dengan persoalan partikularistik, sejarah, budaya dan religi.
Sedangkan Prof. Rahayu membahas tentang Mengawal ‘Indonesian Way’ Menuju Realisasi Komutasi Pidana Mati. “Mekanisme komutasi bagi terpidana mati yang telah berada dalam masa tunggu eksekusi saat KUHP Baru berlaku, termasuk yg telah menunggu lebih dari 10 tahun maupun yg belum mengajukan grasi. Mekanisme komutasi bagi terpidana mati yang ditolak grasinya dan tidak dieksekusi hingga 10 tahun sejak penolakan tersebut ketika KUHP baru nanti mulai berlaku. Mekanisme komutasi yang diberikan setelah masa percobaan selama 10 tahun bagi setiap orang yg dijatuhi pidana mati setelah berlakunya KUHP Baru yang memenuhi ketentuan ” ungkap Prof. Rahayu.
Prof. Sidharta yang memaparkan materi berjudu Pidana Mati Bersyarat dalam Perspektif Kajian Filsafat (Hukum) menuturkan pro-kontra terhadap pidana mati dapat dipastikan akan menjadi isu perenial filsafat (hukum) karena argumentasi dari kedua kubu sama-sama berlandaskan moralitas, fakta, dan tafsir hukum (konstitusi).
“Politik hukum ke arah abolisionis berangkat dari perspektif pelaku, sementara filsafat hukum yang merefleksikan keadilan kerap mengambil optik korban. Optik terakhir ini dapat bergeser apabila kajian metakausalitas yang lebih berdimensi transendental diperkenalkan di dalam diskursus pengembanan hukum” pungkasnya. (LW-Humas)