UNDIP – Diversifikasi pangan merupakan salah satu upaya strategis untuk mengurangi ketergantungan masyarakat Indonesia terhadap beras sebagai makanan pokok. Menjawab tantangan tersebut, Dr. Heny Kusumayanti, S.T., M.T., Dosen Teknik Rekayasa Kimia Industri (TRKI) Sekolah Vokasi Universitas Diponegoro, telah mengembangkan riset inovatif berjudul Produksi Beras Analog dari Tepung Komposit Umbi-umbian Menggunakan Proses Ekstrusi. Penelitian ini memanfaatkan singkong (Manihot utilissima), jagung (Zea mays L.), dan uwi (Dioscorea sp) sebagai bahan baku utama.
Heny menyampaikan bahwa beras analog dari tepung komposit ini dinilai memiliki potensi sebagai alternatif pangan pokok masyarakat karena kaya akan nutrisi, seperti karbohidrat, protein, serta serat. Penelitian dilakukan melalui metode ekstrusi dingin (cold extrusion) dan ekstrusi panas (hot extrusion), yang bertujuan untuk:
- Mengkarakterisasi bahan baku berupa tepung singkong, jagung, dan uwi.
- Menghasilkan beras analog menggunakan kedua metode ekstrusi tersebut.
- Menganalisis produk dari segi fisik, kimia, dan nilai gizi.
”Produksi beras analog menggunakan metode ekstrusi, baik cold extrusion maupun hot extrusion, menjadi inti dalam riset ini. Proses produksi meliputi tiga tahapan utama yakni pembuatan tepung dari bahan baku (singkong, jagung, uwi), pembuatan beras analog menggunakan alat ekstruder, serta analisis produk meliputi fisik, kimia, dan nilai gizi,” ungkap Heny.
Hasil penelitian menunjukkan tepung dari ketiga jenis bahan baku memiliki kandungan karbohidrat tinggi, yaitu tepung uwi ungu sebesar 82,32%, tepung singkong 81,20%, dan tepung jagung 72,90%. Komposisi terbaik untuk memproduksi beras analog adalah campuran tepung uwi ungu (55%), tepung jagung (40%), dan tepung singkong (5%). Komposisi ini menghasilkan produk dengan kadar karbohidrat sebesar 88,91%, protein 7,18%, dan abu 2,25%.
Secara fisik, beras analog berbasis tepung komposit memiliki bentuk menyerupai beras konvensional, dengan hasil dari ekstrusi panas menunjukkan karakteristik fisik dan kimia yang lebih unggul dibandingkan ekstrusi dingin. Beras analog ini juga telah teruji stabil dalam berbagai pengolahan termal dan kaya akan nutrisi, menjadikannya sebagai salah satu inovasi penting untuk mendukung program ketahanan pangan nasional.
“Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi untuk pengembangan produk berbasis lokal yang bernilai tambah tinggi. Dengan optimalisasi teknologi ekstrusi, kami percaya beras analog ini dapat berkontribusi pada diversifikasi pangan dan memperkuat ketahanan pangan nasional,” ujar Heny.
Penelitian ini juga memberikan harapan besar bagi pengembangan industri pangan berbasis umbi-umbian, terutama dalam menciptakan produk alternatif yang dapat diterima oleh masyarakat luas, tanpa mengurangi nilai gizi dan kualitas makanan pokok. (DHW)