UNDIP, Semarang (19/02) – Universitas Diponegoro (UNDIP) hari ini kembali mengukuhkan 5 Guru Besar dalam rangkaian acara Upacara Pengukuhan 36 Guru Besar UNDIP yang berlangsung di bulan Januari dan Februari Tahun 2025. Pada hari ketujuh ini sebanyak 5 Guru Besar dikukuhkan, antara lain yaitu Prof. Dr. Dra. Wilis Ari Setyati, M.Si. (FPIK); Prof. Dr. Drs. Catur Edi Widodo, M.T. (FSM); Prof. Dr. Gatot Yuliyanto, S.Si., M.Si. (FSM); Prof. Ismiyarto, S.Si., M.Si., Ph.D. (FSM); Prof. Dr. Ir. Mursid, M.Si. (FKM).
Pada upacara pengukuhan ini, masing-masing Guru Besar menyampaikan pidato ilmiahnya. Prof. Dr. Dra. Wilis Ari Setyati, M.Si. yang memiliki kepakaran di bidang Mikrobiologi Laut, membawakan orasi ilmiah yang berjudul “Potensi Mikroorganisme Laut untuk Pengembangan Industri Bioteknologi di Indonesia”.
Indonesia dikenal sebagai salah satu negara dengan tingkat keanekaragaman hayati laut yang tinggi. Permintaan global terhadap produk bioteknologi terus meningkat, dengan nilai pasar yang diproyeksikan mencapai USD 5,85 triliun pada tahun 2034. Dalam industri akuakultur, mikroorganisme dimanfaatkan sebagai probiotik untuk meningkatkan kesehatan budidaya perikanan. Sementara itu, di sektor pangan, mikroorganisme berperan penting dalam proses fermentasi dan produksi makanan fungsional. Namun, eksplorasi serta pemanfaatan mikroorganisme laut di Indonesia masih tergolong terbatas.
Prof. Wilis menekankan bahwa sinergi antara akademisi, pemerintah, dan industri sangat diperlukan untuk mengoptimalkan pemanfaatan kekayaan laut Indonesia. Dengan inovasi dan penelitian yang berkelanjutan, beliau optimis bahwa Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi pemimpin global dalam industri bioteknologi berbasis mikroorganisme laut.
Prof. Dr. Drs. Catur Edi Widodo, M.T. yang memiliki kepakaran di bidang Fisika Komputasi, menyampaikan pidato ilmiah yang berjudul “Pengembangan Teknologi Citra Medis untuk Deteksi Penyakit Covid dan Radang Paru-Paru”. Wabah COVID-19 tidak hanya menyebabkan infeksi virus, tetapi juga dapat berkembang menjadi radang paru-paru atau pneumonia. Meskipun metode diagnosis utama seperti PCR memiliki akurasi tinggi, namun memiliki kekurangan seperti prosedurnya rumit, memerlukan waktu lama, dan biayanya cukup mahal. Oleh karena itu, diperlukan metode alternatif yang lebih cepat, nyaman, dan terjangkau. Teknologi citra medis menawarkan solusi inovatif untuk deteksi otomatis tanpa memerlukan keterlibatan langsung dokter.
Hasil uji coba dengan 1.841 foto rontgen menunjukkan bahwa teknologi ini memiliki tingkat akurasi deteksi hingga 98%. Hal ini membuktikan efektivitasnya dalam mendukung diagnosis yang lebih cepat, terutama dalam kondisi darurat. Teknologi citra medis akan terus dikembangkan untuk mendeteksi penyakit lain, seperti gangguan jantung, penyakit paru-paru lainnya, dan masalah kesehatan tulang. Dengan penerapan yang lebih luas di bidang kesehatan, teknologi ini berpotensi meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat yang berdampak pada peningkatan kesejahteraan.
Sementara itu, Prof. Dr. Gatot Yuliyanto, S.Si., M.Si., yang memiliki kepakaran di bidang Geofisika: Seismologi – Mikrotremor, menjelaskan bahwa eksplorasi air tanah dan mitigasi gerakan tanah sering menghadapi tantangan, seperti kondisi topografi yang sulit, permukiman padat, lalu lintas yang tinggi, serta biaya survei yang mahal.
Pada orasi ilmiah yang berjudul “Pengembangan Metode Mikrotremor untuk Identifikasi Zona Akuifer dan Zona Lemah Lapisan Bawah Permukaan”, Prof Gatot menyampaikan bahwa pada metode geofisika konvensional, seperti geolistrik, sering kali sulit diterapkan dalam kondisi tersebut. Sebagai solusi, metode mikrotremor menawarkan keunggulan dengan peralatan yang lebih ringan, mudah dioperasikan, serta memiliki biaya survei yang lebih rendah. Selain itu, metode ini memungkinkan akuisisi data yang cepat, sehingga cocok diterapkan dalam berbagai kondisi lapangan.
“Metode mikrotremor dapat menjadi alternatif penyelesaian masalah yang tidak dimiliki oleh metode geofisika lain. Metode ini dapat digunakan untuk melengkapi metode survei lain ataupun secara mandiri sebagai metode yang berdiri sendiri,” tutur Prof Gatot.
Selanjutnya, Prof. Ismiyarto, S.Si., M.Si., Ph.D., dengan kepakaran Sintesis Organik, menyampaikan pidato ilmiah dengan tema “Penerapan Sintesis Hijau Hasil Pengolahan Limbah Industri Makanan Laut: Kitosan untuk Mendukung Pembangunan Berkelanjutan”. Prof Ismiyarto membahas pendekatan green chemistry atau kimia hijau dalam sintesis organik yang semakin berkembang untuk menghasilkan material yang lebih ramah lingkungan dan bermanfaat. Dengan menerapkan 12 prinsip reaksi hijau, metode sintesis ini berfokus pada pemilihan bahan baku yang dapat diperbarui, proses yang lebih efisien, serta produk yang aman dan biodegradable.
Prof Ismiyarto mengamati berbagai bahan alami, seperti enceng gondok dan cangkang hewan laut, telah dimanfaatkan dalam sintesis senyawa organik untuk mengatasi permasalahan lingkungan dan kesehatan. Beliau menekankan bahwa sintesis organik berbasis kimia hijau perlu terus dikembangkan sebagai upaya melindungi masyarakat dan lingkungan dari dampak yang berbahaya serta memaksimalkan pemanfaatan bahan kimia yang lebih hijau dan ekonomis. Harapannya, langkah ini dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan tujuan pembangunan berkelanjutan.
Prof. Dr. Ir. Mursid, M.Si., dengan kepakaran Lingkungan dan Pengendalian Malaria, memaparkan orasi ilmiah yang berjudul “Pengendalian Ekologis Nyamuk Anopheles untuk Mendukung Eliminasi Malaria di Indonesia”. Malaria masih menjadi permasalahan kesehatan global maupun nasional. Pada tahun 2023, di Indonesia tercatat sebanyak 418.546 kasus positif malaria, termasuk di kawasan strategis Ibu Kota Nusantara (IKN). Tantangan dalam pengendalian malaria masih ada, seperti ditemukannya kasus di wilayah yang telah bersertifikat eliminasi serta meningkatnya penggunaan insektisida berbasis organofosfat.
Menurut Prof Mursid, metode pengendalian malaria dapat diperluas ke ekosistem yang lebih luas, terutama di wilayah timur Indonesia dan sekitar IKN. Pendekatan ekologis dalam pengendalian malaria menjadi langkah penting untuk mencapai target eliminasi malaria di seluruh wilayah Indonesia pada tahun 2030.