Demokrasi dalam Bayang-Bayang Algoritma: Prof. Merlyna Lim Bicara Politik Digital di FISIP UNDIP

UNDIP, Semarang (08/05) — Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Diponegoro kembali menunjukkan komitmennya dalam menjembatani wacana akademik global dan lokal. Kali ini, melalui kuliah umum internasional bertajuk “Social Media and Politics in Southeast Asia”, Departemen Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan (DPIP), FISIP UNDIP menghadirkan pakar terkemuka di bidang politik digital dan media sosial, Prof. Merlyna Lim, Ph.D.

Kuliah umum yang digelar di Ruang Teater FISIP UNDIP pada Kamis, 07 Mei 2025, forum ini juga dirangkai dengan diskusi publik bertema “Memahami Politik Algoritma Sosial Media”, yang mempertemukan pandangan para akademisi, mahasiswa, dan masyarakat sipil.

Acara ini dibuka dengan paparan Keynote Speaker, Wijayanto, S.IP., M.Si., Ph.D., Wakil Rektor Riset, Inovasi, Kerja Sama, dan Komunikasi P ublik UNDIP yang juga pakar Demokrasi Digital dari DPIP. Lewat paparannya yang tajam, ia menggambarkan bagaimana harapan besar pada demokrasi digital kini berubah menjadi kekecewaan. Alih-alih memperluas partisipasi, media sosial justru dimanfaatkan untuk membungkam suara, menyebar propaganda, dan membentuk “enklave algoritmik” yang memperkuat polarisasi emosional di masyarakat.

“Ironisnya, apa yang dulu dianggap sebagai ruang bebas kini menjadi arena represi digital,” tutur Dr. Wijayanto. Namun, ia juga optimistis dengan kekuatan masyarakat sipil yang tetap menjadi pilar penting dalam menjaga ruang publik yang sehat. “Dalam menghadapi tsunami disinformasi dan manipulasi opini publik, masa depan demokrasi digital sangat bergantung pada siapa yang mengendalikan teknologi, serta sejauh mana masyarakat mampu membangun institusi dan norma yang menjunjung deliberasi terbuka dan inklusif,” terangnya.

Sesi utama diisi oleh Prof. Merlyna Lim, yang dengan gaya khasnya memadukan riset akademik mendalam dengan narasi yang membumi. Ia menjelaskan bahwa algoritma media sosial tak hanya membentuk ruang gema (echo chambers), tetapi juga menciptakan jebakan kapitalisme komunikasi di mana ekspresi personal diperdagangkan demi likes dan shares. “Kita tak lagi bicara untuk memahami, merujuk pada teori Habermas. Kita bicara untuk menang,” katanya.  

Dalam kuliah ini, Prof. Merlyna menjelaskan bagaimana media sosial telah menjadi arena kekuasaan yang dikendalikan oleh algoritma, kapitalisme platform, dan budaya popularitas. Ia juga menyoroti bahaya enklave algoritmik dan polarisasi afektif yang mengancam kesehatan demokrasi digital di Asia Tenggara.

Lebih jauh, Prof. Merlyna mengajak para akademisi untuk mengembangkan perspektif yang lebih kontekstual membangun teori dari Asia Tenggara, bukan hanya mengimpor pendekatan dari Barat. Ia mengingatkan bahwa netralitas teknologi adalah ilusi, dan kita perlu terus mengkritisinya serta mendorong penguatan literasi digital yang lebih transformatif.

Sementara dalam tanya jawab dengan wartawan, prof Merlina mengatakan tugas kita terus membuka ruang dialog dan membongkar ilusi-ilusi digital yang menyelubunginya agar kita semua bisa lebih kritis dalam membaca teks-teks di media sosial.

Sesi diskusi publik yang menyusul di sesi berikutnya turut memperkaya pandangan, dengan Drs. Yuwanto, M.Si., Ph.D. dan Dr. Nurul Hasfi, S.Sos., M.A. sebagai pembahas, dengan dimoderatori oleh Dr. Agus Naryoso, S.Sos., M.Si. Kedua pembahas mengulas bagaimana aktor-aktor politik kini mahir memanipulasi algoritma demi membentuk opini publik. Mereka meyakini relevansi pendekatan kritis terhadap media sosial dalam memahami strategi politik kontemporer, khususnya menjelang kontestasi elektoral.

Yuwanto, M.Si., Ph.D, pakar Media dan Politik dari DPIP FISIP UNDIP, mengapresiasi buku Prof Merlyna dan menyebut jika buku ini akan bisa menjadi pedoman mutakhir bagi peneliti demokrasi digital dan komunikasi politik. Ia juga sempat memberikan masukan bahwa buku ini akan lebih menarik jika ada bahasan tentang Artifisial Inteligent (AI) yang dipastikan kedepan akan mengemuka.

Sementara itu Dr. Nurul Hasfi, MA, peneliti sosiologi media dan politik Departemen Ilmu Komunikasi. FISIP UNDIP, secara khusus mengapresiasi pendekatan Prof. Merlyna dan mengatakan buku ini bisa menjadi refleksi kritis komunikasi politik di era digital. Buku ini mengingatkan para elit dan negara agar lebih etis dalam menggunakan media sosial bukan sekadar alat kampanye, tetapi juga sarana mendidik masyarakat demokratis.

Bagi tim sukses dan pengelola media politik, buku ini menjadi kontrol agar tidak terjebak pada strategi viralitas semata yang berisiko memecah publik. Sementara itu, bagi pegiat literasi digital, buku ini sangat berguna memperkuat kesadaran publik agar menjadi pengguna media yang lebih kritis dan bertanggung jawab, tambah Nurul

Sementara Wakil Dekan I FISIP, S. Rouli Manalu, S.Sos., MCommSt., Ph.D., mewakili Dekan FISIP UNDIP, Dr. Teguh Yuwono, M.Pol Admin menyampaikan apresiasi atas terselenggaranya acara ini. “Media sosial bukan lagi ruang netral, ia bisa menjadi alat kekuasaan yang justru anti-demokratis. Kuliah umum ini merupakan bagian dari upaya FISIP untuk membangun sinergi antara ruang kelas, masyarakat, dan dinamika global yang terus berubah,” ujarnya.

Melalui forum seperti ini, UNDIP terus mendorong lahirnya kesadaran kritis dan kemampuan analitis, khususnya di tengah masyarakat yang makin terjerat dalam logika algoritma. Dunia berubah, begitu pula bentuk kekuasaan. Harapannya melalui forum-forum seperti ini, mahasiswa, pakar akademisi dan masyarakat dapat membangun kesadaran kritis terhadap bentuk-bentuk baru kekuasaan yang kini tersembunyi dalam platform teknologi yang digunakan sehari-hari.

Acara ini dihadiri ratusan peserta dari kalangan mahasiswa dan dosen. Mereka tak sekadar hadir, tetapi aktif memberikan respons kritis menunjukkan bahwa ruang akademik masih menjadi tempat strategis untuk membicarakan masa depan demokrasi dan teknologi. (Komunikasi Publik/ UNDIP/ DHW & TSA, ed. NH)

Share this :