Skip to content

Nahkodai MWA PTNBH, Prof. Nasir Usung 3 Prioritas Bangun Perguruan Tinggi Berdampak dan Tangguh


UNDIP, Semarang (11/05) – Saat kami menemui untuk wawancara di kediamannya, sosok Prof. Mohamad Nasir tampak santai, menunjukkan akademisi yang bersahaja. Hamun demikian saat ini pemikirannya sangat dibutuhkan untuk merancang masa depan pendidikan tinggi Indonesia. Berikut ini adalah hasil wawancara ekslusif dengan Prof Nasir tentang posisi barunya sebagai ketua MWA PTNBH yang berhasil kami rangkum.

Prof. Nasir yang pernah menjabat sebagai Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi pada Kabinet Kerja (2014–2019), saat ini menjabat sebagai Ketua Forum Majelis Wali Amanat Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTNBH) se-Indonesia—sebuah peran strategis yang akan menempatkannya di tengah percaturan kebijakan pendidikan tinggi nasional. Minggu lalu baru saja memimpin rapat kerja dengan Ketua MWA darin 24 PTNBH di seluruh Indonesia yang berlangsung di Semarang.

Bagi Prof. Nasir, jabatan bukan panggung. Ia lebih suka ruang diskusi, angka-angka dalam laporan keuangan, dan strategi jangka panjang yang diam-diam ia matangkan. Meski berbicara dengan nada tenang, ia menyimpan ambisi besar: menjadikan PTNBH sebagai pilar transformasi pendidikan tinggi Indonesia yang tangguh, berdampak, dan tetapi memberi manfaat nyata bagi masyarakat.

Di tengah dinamika transformasi pendidikan tinggi nasional, Prof. Mohamad Nasir, Ph.D., Ak., kembali menegaskan kiprahnya dalam dunia akademik. Setelah sebelumnya menjabat sebagai Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, kini ia dipercaya memimpin Forum Majelis Wali Amanat (MWA) Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTNBH) se-Indonesia. Penunjukan ini tidak hanya membawa nama Universitas Diponegoro ke panggung nasional, tetapi juga menjadi momentum strategis untuk mendorong perguruan tinggi Indonesia lebih berdaya saing secara global.

“Ini amanah berat, tapi saya menerimanya sebagai upaya untuk mendorong PTNBH Indonesia agar benar-benar mampu bersaing di kelas dunia,” ujar Prof. Nasir dalam wawancara khusus dengan tim Jejak. Sebagai Ketua MWA UNDIP dan kini Ketua Forum MWA PTNBH, Prof. Nasir membawa tujuan besar, membangun sistem tata kelola yang sehat, profesional, dan berdampak nyata bagi masyarakat.

Dalam pandangannya, tugas utama MWA bukan mencampuri urusan akademik. Ia menyebut ada tiga prioritas strategis non-akademis yang akan ia dorong dalam masa kepemimpinannya yaitu keuangan, Aset dan SDM dan Dana Abadi. Untuk bisa memperbaiki ketiga tata kelola tersebut, Prof Nasir telah membentuk 3 komisi yang membidangi ketiganya yaitu Komisi I membidangi Keuangan, Komisi II membidangi Aset dan SDM, dan Komisi III membidangi Dana Abadi,” ujar Prof. Nasir. Ia menambahkan baru kali ini MWA PTNBH dibagi dalam komisi-komisi.

Pertama, dalam perbaikan pengelolaan aset dan keuangan agar PTNBH tidak semata bergantung pada anggaran negara. Kedua, optimalisasi aset dan sumber daya manusia—termasuk pengelolaan lahan-lahan yang belum dimanfaatkan serta percepatan kaderisasi dosen. Ketiga, pembentukan dan penguatan dana abadi (endowment fund) sebagai salah satu kunci kemandirian dan keberlanjutan institusi.

Terkait dengan tata kelola keuangan, Prof. Nasir menceritakan pengalamannya bahwa iya yakin bisa mewujudkan perbaikan di ketiga bidang tersebut jika dilakukan secara bersama-sama. Ia mengatakan, sejak ia duduk di MWA UNDIP, dana abadi yang semula belum terbentuk kini mulai terbangun dan terkelola. Meski demikian Prof Nasih mengingatkan bahwa dana abadi harus dikelola oleh orang-orang yang benar-benar menguasai manajemen investasi. “Kalau tidak paham, jangan memaksakan diri. Kita butuh fund manager yang bisa berpikir strategis, aman, tapi juga produktif.”

Ada beberapa skema yang bisa ditempuh untuk membentuk dana abadi tersebut, seperti kerja sama strategis antara PTNBH dan dunia industri, donasi dari para filantropis, wakaf, kolaborasi riset inovatif, hingga pemanfaatan Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) yang dapat dialokasikan untuk penguatan endowment fund.

Kemandirian keuangan penting, karena menurutnya PTNBH tidak boleh tergantung pada sumbangan mahasiswa dan apa yang kita sebut Uang Kuliah Tunggal (UKT). “Pengelola PTNBH perlu memahami bahwa perubahan status menjadi Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTNBH) bukan berarti membuka ruang bagi komersialisasi pendidikan, seperti yang kerap disebut oleh publik. Justru sebaliknya, hal ini harus dihindari. Dalam konteks ini, tugas Majelis Wali Amanat (MWA) adalah mendorong upaya pengelolaan dan pengembangan pendapatan non-akademik, termasuk pengelolaan keuangan, sumber daya manusia, dan aset universitas, tanpa mengganggu ranah akademik,” tegasnya.

Sementara itu, terkait dengan Sumber Daya Manusia (SDM) di PTNBH saat ini ada problematika Guru Besar senior yang berstatus sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN). Sementara itu, PTNBH sebagai badan hukum tidak lagi diperkenankan merekrut PNS baru karena sifatnya yang terpisah dari negara. Maka dari itu, proses peremajaan atau kaderisasi tenaga pendidik menjadi sangat krusial. Tantangannya, ketika dosen atau tenaga akademik baru direkrut dengan status non-PNS, maka seluruh beban pembiayaan ditanggung oleh PTNBH.

“Oleh sebab itu, agar tidak membenani PTNBH diperlukan skema dukungan dari negara, misalnya melalui dua alternatif yang bisa ditawarkan, pertama, membuka kembali peluang rekrutmen PNS secara konvensional; atau kedua, melalui skema yang memungkinkan PTNBH mengadakan SDM baru dengan dukungan dana negara,” paparnya. “Topik ini akan menjadi pembahasan utama dalam komisi kedua agar ada jalan keluar untuk problematika ini,” tambahnya.

Sementara itu, ketika ditanya tentang makna World Class University (WCU), Prof. Nasir menjawab dengan jernih, “Ranking itu hanya alat, meski tetep penting karena sudah jadi barometer masyarakat kita dalam menilai kualitas pendidikan tinggi. Meski demikian, namun kita harus ingat ada hal lain yang tak kalah penting yaitu dampaknya. Apakah riset kampus kita dirasakan oleh masyarakat? Apakah inovasinya menyentuh kebutuhan publik? Itulah WCU yang sesungguhnya. Menurut saya Rektor UNDIP sudah sangat bagus dalam menjalankan semangat ini, bahkan ada visi Undip Bermartabat, Undip Bermanfaat.

Prof Nasir mengajak seluruh rektor untuk membangun kolaborasi internasional, memperluas jejaring, dan memastikan bahwa capaian akademik tidak hanya berorientasi pada angka tetapi juga pada kontribusi terhadap tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs).

Prof. Nasir juga menggarisbawahi bahwa memang ada tantangan regulasi menjadi penghambat besar. Di satu sisi, perguruan tinggi dituntut untuk naik peringkat global, tetapi di sisi lain ruang fiskal sangat terbatas. “Kalau UKT tidak boleh naik, dana APBN terbatas, dan tidak ada kebijakan pendukung untuk kerja sama aset, maka sulit bergerak. Regulasi ini perlu ditata ulang,” ujarnya tegas.

Prof. Mohamad Nasir saat ditemui di kediamannya

Menutup perbincangan, Prof. Nasir menyampaikan harapannya kepada seluruh civitas akademika, khususnya di UNDIP, untuk terus membangun semangat kolektif dalam mendorong kemajuan institusi. “Jangan dulu berpikir untuk diri sendiri. Pikirkan masa depan UNDIP. Jadikan UNDIP sebagai alternatif kebijakan negara, tempat lahirnya solusi, dan simbol kemajuan bangsa.”

Dengan pengalamannya yang luas dan visi yang tajam, Prof. Nasir tidak sekadar membawa nama, tetapi juga arah baru bagi masa depan pendidikan tinggi Indonesia. Ia adalah gambaran pemimpin akademik yang tak hanya bermimpi besar, tapi juga tahu persis jalur mana yang harus ditempuh untuk mencapainya. (Komunikasi Publik/ UNDIP/ Nurul).

Share this :