Strong Man, Silent Pain : Membedah Toxic Masculinity Quarter Life Crisis pada Pria

Strong Man, Silent Pain : Membedah Toxic Masculinity Quarter Life Crisis pada Pria

UNDIP, Semarang (4/9) – Unit Pelaksana Teknis Layanan Konsultasi, Disabilitas, Penegakan Disiplin dan Etika Mahasiswa (UPT LKDPDEM) UNDIP mengadakan seminar dengan tema “Strong men, Silent Pain : Membedah Toxic Masculinity Quarter Life Crisis pada Pria”. Seminar ini di gelar pada Kamis, 4 September 2025 pada pukul 13.00 WIB yang dilaksanakan di Auditorium Gd. A Lt. 3 FISIP, Tembalang.  Kegiatan ini menghadirkan dua narasumber, yakni Prof. Dr. nat. tech. Siswo Sumardiono, S.T., M.T., dan Hasan Fathur Rozi, S.Psi., M.Psi.

Turut hadir dan memberikan sambutan, Wakil Rektor I Akademik dan Kemahasiswaan Prof. Dr.rer.nat. Heru Susanto, S.T., M.M., M.T., menyampaikan toxic masculinity yang sering terjadi pada laki laki yaitu tidak boleh menangis, “seringkali laki laki mengcover dirinya untuk tidak boleh menangis, tidak boleh curhat, dan lain – lain. Padahal hal tersebut itu natural yang terjadi dalam diri kita sebagai manusia”. ujarnya.

Lebih lanjut ia menjelaskan tentang UPT LKDPDEM yang merupakan salah satu layanan UNDIP yang dapat digunakan oleh mahasiswa. “Untuk adik-adik mahasiswa, manfaatkan forum ini dan keluar dari sini kalian juga bisa memanfaatkan  UPT LKDPDEM, unit itu kami sediakan memang untuk menampung sharing-sharing, menampung case atau permasalahan, konsultasi dan sebagainya. Itu memang dibentuk oleh UNDIP untuk melayani mahasiswa, tidak hanya pelayanan akademik tetapi layanan yang sifatnya perlu advice atau saran, perlu sekedar teman ngomong. Untuk rahasianya Insyaallah akan terjaga” tuturnya.

Tujuan diadakan seminar ini untuk memberikan pemahaman yang lebih mendalam kepada mahasiswa mengenai fenomena toxic masculinity dan dampaknya terhadap krisis seperempat abad (quarter life crisis) yang kerap dialami oleh pria. Selain itu, seminar ini juga bertujuan membuka ruang diskusi agar mahasiswa, khususnya laki-laki, lebih berani mengekspresikan emosi secara sehat, membangun kesadaran bahwa menangis dan berbagi cerita bukanlah sebuah kelemahan.

Pada paparan materinya berjudul A Man’s Journey: Perjalanan Menemukan Kekuatan dan Melawan Quarter Life Crisis pada Pria, Prof. Dr. nat. tech. Siswo Sumardiono, S.T, M.T. menyampaikan bahwa “75% pria umur 25 – 30 tahun mengalami quarter life crisis. Hal ini bisa disebabkan oleh faktor internal salah satunya adalah komitmen pada tujuan dan stress. Faktor eksternal yang mempengaruhi yaitu tidak ada dukungan dari orang terdekat, hal yang bisa kita lakukan adalah mencari teman yang satu frekuensi untuk menemani kita” jelasnya.

Ia juga menambahkan definisi strong man yaitu “Strong man adalah laki – laki yang menyiapkan diri untuk masa depannya, perjuangannya, dengan tangguh memiliki kesungguhan. Tetapi tidak menutup kemungkinan namanya laki – laki, boleh sedih, marah, menangis” tuturnya.

Selanjutnya, dalam kesempatannya,  Hasan Fathur Rozi, S.Psi., M.Psi. yang membawakan materi Not Weak, Just Human: Memahami dan membedah stigma Toxic Masculinity, dalam penjelasannya ia menyampaikan bahwa “ Toxic Masculinity merupakan konsep yang mengglorifikasi peran tradisional secara ekstrim, apapun itu yang dilakukan secara ekstrim itu tidak baik” jelasnya.

Lebih lanjut ia menyampaikan bahwa: “Hal yang dominan dalam sikap maskulinitas yaitu dominasi, agresi, dan menyepelekan perawatan diri. Dari semua manifestasi ini akan mengakibatkan seseorang untuk menghindari ekspresi emosi, kondisi di mana kita melarang diri untuk takut padahal takut adalah sebuah sinyal bahwa kita sedang berada dalam bahaya. Jadi kalau kalian takut itu bukan karena kalian tidak berani, tetapi itu adalah sebuah sinyal bahwa ada bahaya. hal itu pertanda untuk kita siap-siap untuk menghadapi bahaya ini” tambahnya.

Dalam acara ini, peserta tidak hanya mendapatkan wawasan teoretis, tetapi juga diajak untuk lebih reflektif terhadap pengalaman pribadi mereka. Melalui pemaparan kedua narasumber, mahasiswa diharapkan mampu memahami bahwa menjadi laki-laki tidak identik dengan menekan emosi, melainkan bagaimana mengelola perasaan secara sehat untuk menghadapi berbagai tantangan hidup. (Komunikasi Publik/UNDIP/Syahra & As)

Share this :