UNDIP, Semarang (03/09) – Bayangkan seekor kecoak yang biasanya kita hindari, justru menjadi penyelamat manusia dalam situasi darurat. Terbukti dengan inovasi futuristik berupa cyborg insects atau serangga hibrida robotik yang dikembangkan oleh Mochammad Ariyanto, S.T., M.T., Ph.D., dosen Departemen Teknik Mesin, Fakultas Teknik UNDIP. Terobosan ini tidak hanya membuka peluang baru dalam misi penyelamatan dan kemanusiaan, tetapi juga menjadi bukti bahwa Universitas Diponegoro memiliki peneliti visioner yang membanggakan.
Dalam wawancara eksklusif di kanal resmi UNDIP Podcast, Ariyanto, Ph.D. membagikan kisah perjalanan risetnya mengembangkan cyborg insect, sebuah inovasi yang memadukan biologi dan robotika untuk misi pencarian serta penyelamatan korban bencana di lokasi yang sulit dijangkau manusia maupun robot konvensional. Teknologi ini menghadirkan kecoak dengan perangkat elektronik miniatur yang membuatnya bisa dikendalikan layaknya robot mikro.
Gagasan ini bermula pada akhir 2020 saat Ariyanto, Ph.D. menempuh studi doktoral dan mendapat tantangan riset dari Prof. Keisuke Morishima di Osaka University. Kala itu, ia merenungkan betapa sulitnya proses evakuasi ketika bencana besar melanda, seperti gempa dan tsunami Fukushima maupun bencana di kota-kota padat penduduk. Dari situlah muncul ide untuk menggabungkan kecerdasan alamiah serangga dengan sistem kendali berbasis robotik.
Serangga pilihan Ariyanto, Ph.D. adalah kecoak Madagaskar. Ukurannya sekitar enam sentimeter yang mampu bergerak lincah, bisa memanjat dinding, dan menyusup ke celah sempit hingga mampu bertahan di lingkungan minim oksigen, yang mustahil dijangkau manusia maupun robot konvensional. “Kemampuan ini menjadikan cyborg insect punya nilai tambah, karena tetap bisa berfungsi bahkan di lingkungan berbahaya, seperti area radioaktif,” ujarnya.
Teknologi canggih yang dikembangkan memungkinkan operator manusia mengendalikan gerakan serangga dengan menambahkan wireless simulator backpack robotik mini berukuran hanya 2 x 3 sentimeter, kecoak ini sebagai robot pengintai yang bisa dikendalikan secara nirkabel tanpa mengganggu gerakan alaminya.
“Kalau kita memaksa membuat robot sepenuhnya mekatronik dengan ukuran sangat kecil, tantangannya jauh lebih kompleks. Maka pendekatan ini justru memanfaatkan keunggulan alami serangga sambil tetap memastikan kelangsungan hidupnya terjaga,” jelas Ariyanto, Ph.D.
Keberhasilan inovasi ini tak terlepas dari riset kolaboratif bersama Prof. Morishima dan para peneliti di Osaka University, Jepang serta dukungan Moonshot Research and Development (R&D), sebuah program prestisius yang digagas Japan Science and Technology Agency (JST). Melalui sinergi bersama industri, tim peneliti berhasil menciptakan wireless backpack berteknologi tinggi yang dilengkapi algoritma khusus, sehingga modul nirkabel mini bisa mengarahkan gerakan serangga dengan presisi.
Cyborg insect tidak sekadar bergerak, melainkan dapat merekam video, mendeteksi panas tubuh, hingga mengenali wajah manusia melalui sensor pintar yang terintegrasi dengan micro control. Semua data dikirim secara real-time ke pusat kendali, membantu tim SAR (search and rescue) menemukan korban dengan lebih cepat dan akurat.
Dalam pengoperasiannya, serangga cyborg dapat dikendalikan dengan dua metode. Pertama, kendali manual oleh operator melalui sinyal nirkabel. Kedua, sistem navigasi otomatis yang memungkinkan serangga bergerak cerdas menghindari hambatan dengan bantuan algoritma khusus. Ariyanto, Ph.D. bahkan tengah mengembangkan integrasi berbasis deep learning untuk memungkinkan serangga ini merespons perintah suara.

Meski awalnya ditujukan bagi kebutuhan di Jepang, Ariyanto, Ph.D. tidak menutup mata terhadap potensi besar penerapan di tanah air. Indonesia yang rawan gempa bumi, tanah longsor, dan banjir, menurutnya sangat membutuhkan inovasi serupa. “Saya yakin teknologi ini dapat membantu misi penyelamatan di Indonesia, terutama di wilayah perkotaan padat penduduk,” katanya penuh keyakinan.
Kini, selain mengembangkan cyborg insect, Ariyanto, Ph.D. juga merancang penelitian jangka panjang untuk menciptakan teknologi bionik lain. Dari tangan buatan dan ekzoskeleton bagi penyandang disabilitas, burung serta ikan berteknologi kendali, hingga platform robotik berbasis tikus putih untuk misi khusus di darat, udara, maupun perairan. di mana semua menjadi bagian dari mimpinya menghadirkan inovasi yang memberi manfaat luas bagi masyarakat.
Perjalanan akademiknya bermula di UNDIP tahun 2010, sebelum melanjutkan magister di kampus yang sama, dan meraih doktoral di Osaka University, salah satu universitas terbaik di Asia. Selama di Jepang, ia turut mengembangkan perangkat lunak yang kini masih digunakan mahasiswa dan peneliti di sana. Pengakuan itu bahkan membuatnya dipercaya menjadi visiting professor sekaligus penguji doktoral.
Kepulangannya ke Indonesia pun sarat makna. Meski sempat ditawari menjadi dosen tetap di Jepang, ia memilih pulang demi mewujudkan mimpi orang tua sekaligus mengabdi kepada negeri. Kini, ia aktif mengajar sekaligus membimbing mahasiswa di Fakultas Teknik UNDIP untuk melanjutkan riset-riset inovatif.
Kolaborasi lintas negara pun terus berjalan. UNDIP telah menandatangani MoU dengan Osaka University sebagai payung kerja sama riset, pendidikan, dan pengabdian masyarakat. Hal ini menjadi bukti nyata bagaimana perguruan tinggi di Indonesia mampu hadir di panggung global.
Bagi Ariyanto, Ph.D. teknologi bukan sekadar pencapaian intelektual, tetapi wujud kepedulian sosial. Ia selalu menekankan pentingnya menanamkan etika dalam setiap inovasi, agar manfaatnya benar-benar kembali kepada masyarakat. Menurutnya, Indonesia harus berani percaya diri dalam membangun teknologi sendiri. “Fasilitas kita mungkin belum sebanding dengan negara maju, tapi semangat harus tetap ada. Jika kita terus bergantung pada negara lain, kita hanya akan menjadi importir, sementara transfer ilmu pengetahuan jarang terjadi. Kalau bukan kita, siapa lagi yang akan memajukan bangsa ini?” pesannya optimistis.
Sosok Ariyanto, Ph.D. membuktikan bahwa semangat berkarya dan kontribusi global bisa berakar kuat dari kampus lokal. Ia bukan hanya seorang ilmuwan, melainkan juga penggerak masa depan teknologi kemanusiaan. (Komunikasi Publik/UNDIP/DHW)