UNDIP, Semarang (11/9) – Universitas Diponegoro (UNDIP) kembali menggelar presentasi makalah ilmiah 3 (tiga) calon Guru Besar UNDIP yang diselenggarakan oleh Dewan Profesor Universitas Diponegoro pada Kamis, 11 September 2025 pukul 08.30 WIB di Ruang Sidang Senat Akademik lantai 3 Gedung SA-MWA kampus UNDIP Tembalang. Ketiga calon Guru Besar UNDIP antara lain Ika Riswanti Putranti, A.Md.Ak., S.H., M.H., Ph.D., dan Dr. Laila Kholid Alfirdaus, S.IP., M.PP. dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik; serta Dr. Sukirno, S.H., M.Si. yang berasal dari Fakultas Hukum.
Mengawali presentasi makalah ilmiahnya yang berjudul “Hukum Internasional di Era Mega-Free Trade Agreement dan Teknologi Disruptif: Transnational Legal Process dalam rangka Menyeimbangkan Kepentingan Nasional dan Norma Global yang Berkembang”, Ika Riswanti Ph.D., menjelaskan bahwa proliferasi Free Trade Agreements (FTA) dan kemunculan Mega-FTA mencerminkan pergeseran arsitektur hukum perdagangan global yang semakin kompleks. Ketidakmampuan WTO menjawab isu-isu baru seperti perdagangan digital, e-commerce, standar lingkungan, hak-hak buruh, dan teknologi disruptif seperti AI, blockchain, bioteknologi, robotik, dan teknologi luar angkasa, mendorong negara-negara mencari forum alternatif. Namun, tumpang tindih regulasi dalam berbagai FTA melahirkan fenomena spaghetti bowl effect yang menciptakan ketidakpastian hukum, meningkatkan biaya transaksi, dan memicu diskriminasi dagang.
Dalam konteks ini, Mega-FTA muncul sebagai solusi untuk menyatukan berbagai perjanjian regional ke dalam satu kerangka yang lebih responsif terhadap perkembangan global. Selain itu, pendekatan Transnational Legal Process (TLP) menjadi penting sebagai kerangka dinamis yang mampu menyeimbangkan kepentingan nasional dengan norma global. Melalui interaksi, interpretasi, internalisasi, dan kepatuhan, TLP memungkinkan norma internasional terkait teknologi disruptif diadopsi dan dilembagakan dalam hukum domestik, sembari tetap mempertahankan kedaulatan negara.
Studi kasus Indonesia dalam RCEP memperlihatkan bagaimana proses ratifikasi, putusan Mahkamah Konstitusi, dan perangkat hukum domestik mengintegrasikan kepentingan nasional dengan tuntutan global. “Di tengah arsitektur global yang semakin polisentris, TLP memungkinkan Indonesia tidak hanya menjadi norm taker, tapi juga norm entrepreneur dalam isu strategis seperti perundingan ASEAN Digital Economy Framework Agreement dan tata kelola AI internasional. Tanpa kerangka ini, negara berisiko kehilangan otonomi regulatif di tengah arsitektur global yang semakin polisentris,” ujar Ika Riswanti Ph.D.
Pada kesempatan lainnya, calon Guru Besar Dr. Laila Kholid membawakan makalah ilmiah yang berjudul “Dari Politik ke Kebijakan Publik: Relevansi Akademik, Metodologi, dan Praktik”. Beliau menjelaskan bahwa paradigma integratif dalam politik kebijakan publik memberikan kontribusi penting dalam memahami keterkaitan antara proses politik dan lahirnya kebijakan.
Pendekatan ini tidak memisahkan politik sebagai variabel independen ataupun menganggap kebijakan semata sebagai produk akhir dari proses politik. Sebaliknya, politik dan kebijakan publik dipandang sebagai entitas yang saling terhubung dan melekat satu sama lain. Dialektika politik yang dipenuhi kontestasi kepentingan, kekuasaan, dan nilai-nilai, secara nyata tercermin dalam bentuk, pilihan, dan arah kebijakan publik yang dihasilkan. Dengan demikian, kebijakan publik merupakan ekspresi nyata dari dinamika politik yang sedang berlangsung. “Tugas kita semua adalah mengawal kebaikan bersama (public goodness) dalam kebijakan,” ucap Dr. Laila.
Dalam sesi pemaparan makalah ilmiah calon Guru Besar ketiga, Dr. Sukirno menjelaskan mengenai “Politik Hukum Keberagaman Kesetaraan dalam Pengakuan Masyarakat Hukum Adat dan Hak-Hak Tradisionalnya”. Menurutnya, hukum merupakan produk politik legislatif maupun eksekutif. Dalam perspektif politik hukum Indonesia, Pancasila menjadi kaidah penuntun utama dengan empat pilar yaitu integrasi, demokrasi dan nomokrasi, keadilan sosial, dan kebebasan beragama. Di sisi lain masyarakat hukum adat (MHA) sulit mempertahankan hak-haknya terutama hak ulayat sehingga sering dikriminalisasi dan terjadinya diskriminasi dalam pelayanan publik.
“Sudah saatnya pemerintah membangun politik hukum yang mengakui keberagaman-kesetaraan dengan mengakui MHA sebagai masyarakat berbeda dengan masyarakat lainnya dan memberikan perlakuan yang setara dengan warga negara lainnya melalui affirmative action. Oleh karena itu diharapkan pemerintah konsisten melindungi dan memajukan kesejahteraan MHA, DPR segera membentuk UU MHA, dan MA mengedepankan keadilan substansial”, kata Dr. Sukirno. (Komunikasi Publik/UNDIP/Dhany)