SEMARANG – Pandemi COVID-19 yang masih terjadi sampai saat ini menjadikan perguruan tinggi mempertahankan kuliah online sebagai default sistem pembelajarannya. Selain kendala teknis dalam metode pembelajaran online terus coba diatasi, kendala psikologis yang dialami mahasiswa patut diberi perhatian.
Ketidaknyamanan psikologis yang dapat menyebabkan mahasiswa kehilangan sense of control tersebut muncul akibat transisi dari pembelajaran face to face ke pembelajaran jarak jauh, dimana untuk mendapatkan pemahaman yang sama akan materi perkuliahan, dibutuhkan beragam strategi berbeda yang perlu dipelajari, dilatih, dimonitor efektivitasnya, dan diubah strateginya ketika tidak efektif. Pembelajaran jarak jauh juga turut mengusik kenyamanan yang telah tercipta dari kebiasaan berinterkasi dan berkomunikasi secara langsung.
Hal itu diungkapkan oleh Dekan Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro (UNDIP), Dian Ratna Sawitri SPsi MSi PhD, Jumat (15/1/2021). Menurut psikolog senior ini, beberapa aspek budaya perlu menjadi perhatian terkait bagaimana mengatasi kendala psikologis dalam pembelajaran jarak jauh. Pertama, power distance index. Dalam budaya ini, kecenderungan teacher-centered lazim terjadi, dan student-centered learning merupakan tantangan tersendiri, meskipun sebelum pandemi telah dikembangkan.
Berikutnya, budaya high context vs low context communication tidak kalah menarik untuk dicermati. Pada pola high context communication, informasi tersampaikan dalam konteks situasi, artinya dibandingkan secara eksplisit, masyarakat cenderung lebih banyak menggunakan sesuatu yang implisit, misalnya melalui ekspresi wajah, gesture, dan tindakan.
Kendala psikologis cenderung berkurang dengan pola low context communication, dimana lebih banyak informasi yang secara eksplisit dipertukarkan melalui pesan-pesan itu sendiri, dan lebih sedikit yang tersampaikan secara implisit atau tersembunyi.
Menurut Sawitri, dalam menyiasati tuntutan pembelajaran jarak jauh dan perubahan situasi yang senantiasa silih berganti serta dengan mempertimbangakan faktor budaya, penting bagi mahasiswa untuk dapat menjadi pembelajar sepanjang hayat, yang menguasai kompetensi untuk belajar bagaimana belajar (learning how to learn).
Dosen dan institusi dapat memfasilitasi hal ini dengan menciptakan online learning climate dan mengoptimalkan kemandirian belajar mahasiswa, untuk mengarahkannya menjadi self-regulated learner agar dapat terlibat secara penuh dalam proses pembelajaran jarak jauh tanpa kendala psikologis yang bermakna.
Iklim belajar online yang kondusif dapat diciptakan dosen melalaui beragam celah. Kedua, online learning climate dapat dibangun melalui desain perkuliahan. Selain itu juga didukung sarana prasarana memadai harapannya seiring sejalan dengan kemandirian mahasiswa dalam belajar.
Strategi pembentukan karakter mahasiswa sebagai autonomous learner ini dapat disosialisasikan pada saat penerimaan mahasiswa baru dan juga perlu dikomunikasikan secara integrated dalam perkuliahan secara on going.
Ciri-ciri autonomous learner adalah ia merupakan self-directed learner yang sudah bisa menikmati pengalaman-pengalaman belajar dan tantangan baru, terbuka atas cara-cara baru dalam melakukan hal-hal yang telah biasa dilakukan dengan cara lama, dan menikmati proses mencari informasi secara mandiri. Autonomous learner juga cenderung optimis dalam mengatasi tugas-tugas sulit, termotivasi memenuhi deadline, senang bekerja mandiri, dan dapat merencanakan waktu studinya secara efektif.
Secara bersama-sama, diharapkan online learning climate dan autonomous learning mengarahkan mahasiswa untuk memiliki self-regulated online learning yaitu kemampuan mahasiswa dalam mengatur proses belajarnya sendiri dengan mengaktifkan kognisi, afeksi, dan perilaku, untuk mencapai tujuan belajar online.
Sosok self-regulated learner harapannya dapat menunjukkan keterlibatan optimal dalam kuliah secara daring. Online student engagement dapat dilihat dari beragam indikator: (a) dari sisi skill, seperti: mampu mendengarkan dan membaca materi perkuliahan sampai paham, membuat dan mengecek catatan penting, mencari cara agar materi perkuliahan bisa relevan dengan pengalamannya, mencari cara untuk membuat kuliah online menarik baginya, (b) dari sisi partisipasi: terlibat aktif dalam diskusi, bersedia membantu rekan mahasiswa lain, terlibat perbincangan online (chat, diskusi, email), memposting pendapat dalam forum diskusi secara reguler, dan berusaha mengenal mahasiswa lain di kelas, (c) dari sisi emosi: antusias belajar, menikmati komunikasi online misal via email dengan dosen atau rekan mahasiswa lain, (d) dari sisi performance: mendapatkan nilai yang baik, dapat mengerjakan ujian atau kuis.
Pada akhirnya, yang harus belajar sepanjang hayat bukan hanya perlu dilakukan oleh mahasiswa. Dosen sebagai fasilitator diharapkan pula menemukan cara-cara baru ketika cara-cara lama yang dulu berhasil dilakukan saat ini tidak bisa lagi diaplikasikan, sementara pihak kampus diharapkan memberikan fasilitas penunjang dan kebijakan yang relevan dan up-to-date. Dimilikinya present-moment awareness harapannya dari pihak-pihak yang terlibat tersebut diharapkan dapat membantu terlaksananya pembelajaran jarak jauh dengan kendala psikologis yang minimal.