SEMARANG- Awalnya, mendengar pernyataan “Semua punya peran membesarkan Fakultas Ilmu Budaya UNDIP” terasa lebay. Berlebihan, bahkan bisa ditafsir aneh. Tapi karena ungkapan itu terucap dari Dr Nurhayati yang saat ini menjabat sebagai Dekan Fakultas ILmu Budaya (FIB) Universitas Diponegoro (UNDIP), ceritanya menjadi lain.
Terasa ada kerendahan hati, penghayatan akan kebersamaan, dan rasa kekeluargaan yang terkandung dalam ungkapan itu. Bisa jadi ucapan itu adalah wujud kematangan dalam bersikap. Bu Nur, begitu dia biasa disapa, seperti menyadari bahwa ilmu sosial humaniora memang sangat dinamis, dan banyak hal yang bisa mempengaruhinya. Dalam konteks itu, ungkapan “semua orang punya peran” menjadi punya makna yang dalam.
Ya, ilmu sosial dan humaniora memang ilmu yang dekat dengan manusia, ada lebih dulu sebelum sains dan teknologi hadir di kehidupan. Pesatnya dinamika, dan rentannya terhadap perubahan penamaan atau nomenklatur ilmunya, adalah bukti bahwa rumpun ilmu soshum berkembang cepat. “Kurang pas kalau ada anggapan bahwa ilmu-ilmu sosial humaniora lambat. Perkembangannya sama cepat dengan perkembangan masyarakat,” kata Dekan FIB Undip, Dr Nurhayati MHum.
Perempuan kelahiran Blora, 4 Oktober 1966 ini menamatkan pendidikan sarjananya di Jurusan Sastra Inggris FIB Undip yang waktu itu masih bernama Fakultas Sastra pada tahun 1989. Tak mengherankan kalau sosok yang gemar membaca ini memilih kuliah di Jurusan Sastra, karena selain traveling, membaca buku sudah menjadi bagian dari kehidupannya sehari-hari.
Begitu lulus, dia menjadi pengajar di almamaternya. Mengajar, membaca, meneliti dan belajar seperti tak terpisahkan darinya. Begitu mendapat kesempatan studi lanjut di Magister Linguistik Unversitas Indonesia dijalaninya dengan baik dan lulus tahun 1999. Sembilan tahun kemudian, di kampus yang sama jenjang strata tiga pun diselesaikannya, sehingga sejak tahun 2008 dia berhak menyandang gelar doktor di depan namanya.
Meski sikapnya ramah dan penampilannya kalem, istri dari Anang Widodo ini menunjukkan sikap tegas dan kukuh ketika bersentuhan dengan tanggung jawabnya di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Undip. Komitmen dan tekadnya untuk
turut mengembangkan dan membesarkan FIB Undip tak boleh ditawar lagi. Untuk mewujudkannya, selain tegas dan kukuh, dia juga detil dalam membangun branding untuk fakultas yang dipimpinnya.
FIB Undip saat ini mengelola empat jenjang pendidikan, mulai dari diploma, sarjana, magister dan doktor. Di Program S1 ada Prodi Sastra Indonesia, Sastra Inggris, Bahasa dan Kebudayaan Jepang, Sejarah, dan Antropologi Sosial. Untuk jenjang S2 ada Prodi Magister Susastra, Magister Linguistik dan Magister Sejarah. Di jenjang S3 ada Program Doktor Ilmu Sejarah. FIB Undip juga mengelola program diploma yang meliputi D3 Kearsipan, D3 Sastra Inggris, D3 Sastra Jepang dan D3 Perpustakaan dan Informasi.
“Prioritas kami, semua Prodi mencapai kualifikasi yang optimum. Kami terus menelaah agar kurikulum dan muatannya relevan dengan kebutuhan dan tuntutan zaman, namun tetap mengacu pada ketentuan yang ada. Kami berupaya keras bisa meraih tingkatan yang maksimal. Perlu diketahui, FIB Undip juga tengah mengajukan akreditasi internasional untuk beberapa Prodi,” tutur ibu dua anak ini dengan nada bersemangat.
Dia memaparkan bagaimana dua Prodi yang dikelola, yaitu S1 Sastra Indonesia dan S1 Sejarah di tahun 2021 ini tengah diproses untuk mendapatkan Akreditasi Internasional dari FIBAA (Foundation for International Business Administration Accreditation). Memang perlu upaya ekstra, namun hal itu dilakukan untuk menjawab tantangan global yang dihadapi dunia pendidikan. Upaya itu juga menjadi bentuk komitmen mewujudkan Undip sebagai world class university.
Dalam kepemimpinannya, Nurhayati juga berupaya memperbaiki kualifikasi jurnal ilmiah yang ada di lingkungan FIB Undip. Yang sudah terlihat adalah pengakuan untuk Jurnal Izumi yang saat ini merupakan satu-satunya jurnal bahasa, sastra dan budaya Jepang di Indonesia yang telah terakreditasi oleh Science and Technology Index (SINTA) 3. Sedangkan Jurnal PAROLE dan Jurnal CITRA LEKHA masuk SINTA 2. Jurnal-jurnal tersebut menjadi jujukan dosen dan peneliti di Indonesia dan manca negara untuk mempublikasikan manuskripnya.
Ibu dari Akhta Yudistira dan Tresnadi Batavia ini menegaskan komitmennya membesarkan FIB Undip adalah salah satu bentuk rasa syukur terhadap perjalanan hidup dan pengabdiannya. Dia menuturkan, saat membuat tugas akhir mulai dari skripsi, tesis maupun disertasi selalu mendapat promotor dan pembimbing utama tokoh yang luas biasa. Pembimbing skripsinya adalah Prof. Dr. Istiati Soetomo, M.A; sedangkan tesisnya dipromotori oleh Prof. Dr. Anton M. Moeliono, tokoh yang pernah memimpin Pusat Bahasa; sementara disertasinya dipromotori oleh Prof. Dr. Benny H, Hoed, pakar linguistik terkemuka, ayah dari musisi Anto Hoed.
Dia juga bersyukur atas perjalanan karir strukturalnya. Sebelum dilantik sebagai Dekan FIB Undip pada 15 Januari 2019, amanah mulai dari assessor penilaian kinerja dosen, tim peer review karya ilmiah untuk kenaikan jabatan fungsional, dan anggota senat FIB pernah disandangnya. Bahkan jabatan Sekretaris Program Magister Linguistik Undip dua kali disandangnya. Di forum internasional, dia juga beberapa kali memberi kuliah di Asia University of Taiwan.
Semua itu tidak diraih dengan proses yang instan, namun melalui pengabdian dan dedikasinya yang panjang. Amanah dimaknai sebagai tanggung jawab, sehingga dalam memimpin FIB dia menjunjung tinggi prinsip kekeluargaan dengan menghargai dan menghormati senior, mendekati dan menyemangati yunior. ‘’Semua kita ajak untuk berubah menuju FIB yang lebih baik, lebih berprestasi, dan lebih dikenal. Membuat civitas academica beraktivitas dengan penuh semangat, dan menyadari bahwa kita semua tidak boleh terlena dengan kondisi selama ini,” kata Nurhayati yang juga seorang pakar linguistik atau ilmu bahasa.
Nurhayati berprinsip pantang menyerah untuk mewujudkan FIB Menjadi fakultas riset yang unggul di Asia Tenggara pada tahun 2025 dalam bidang kebudayaan yang meliputi sastra, bahasa, sejarah, antropologi, perpustakaan, filsafat, dan kearsipan. Karena itu dia seringkali men-share keberhasilan yang diraih fakultas lain, bahkan FIB di universitas lain untuk menyemangati koleganya. ‘’Saya selalu mengatakan kalau orang lain bisa, kenapa kita tidak?”
Yang pasti dia mengakui bahwa semua keberhasilan yang diraihnya tidak dapat dilepaskan dari dukungan keluarga. Ada pengorbanan dan pengertian dari keluarga ketika seseorang berhasil meraih sesuatu. “Mengelola waktu dan perhatian untuk pekerjaan, keluarga, masyarakat dan untuk pengembangan diri harus dilakukan. Memang tidak semudah mengucapkannya, tapi harus kita lakukan,” ungkap pengampu mata kuliah Analisis Wacana Kritis di Prodi S2 Linguistik ini.
Ditanya rencananya untuk meraih gelar akademik tertinggi sebagai guru besar, dengan mantap dia menukas: “Tugas saya sekarang adalah memimpin dan mengembangkan FIB. Soal guru besar, kalau memang sudah saatnya pasti akan sampai juga”. (tim humas)