Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) adalah sektor yang paling terdampak di masa pandemi ini karena diterapkannya social distancing dan Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Hal ini dikemukakan Prof. Dr. Suharnomo, SE., M.Si, pakar ekonomi dan pengamat bisnis dari FEB Undip dalam wawancara Special Dialog di Metro TV Jateng-DIY, Jumat siang (2/7/2021)
Dekan FEB Universitas Diponegoro ini memaparkan, data yang dihimpun Badan Pusat Statistik menunjukkan ada penurunan jumlah UMKM. Tahun 2020 kwartal satu memang terdapat peningkatan sebesar 40% atau mencapai jumlah 912.421 unit se-Jawa Tengah. Namun begitu memasuki kwartal kedua dimana pandemi berlangsung, terjadi penurunan. Meski data belum tersedia, namun indikasi penuruan dapat dilihat dari beberapa hal berikut seperti sejumlah UMKM menutup usahanya, hampir tidak ada pertumbuhan UMKM baru dan menurunnya kegiatan ekspedisi. Sementara sektor makanan, minuman, dan sejumlah sektor lainnya justru tumbuh luar biasa.
“Makanan, minuman, sektor pertanian, peternakan, kesehatan, informatika, komunikasi tumbuh luar biasa karena permintaan tetap stabil, Problem di ekspedisi yang turun luar biasa. Akomodasi seperti hotel dan sektor pariwisata turun drastis,” jelas Prof. Suharnomo yang juga menjabat sebagai Dekan FEB Undip.
Bila dibandingkan dengan tahun 1998 saat terjadi krisis ekonomi global, pertumbuhan UMKM sangat signifikan. Saat itu UMKM menjadi pahlawan ekonomi karena menyerap tenaga kerja luar biasa, sementara korporasi besar justru mengalami krisis finansial. Di masa pandemi ini, terjadi sebaliknya. UMKM sulit berusaha bahkan tidak bisa menjalankan usahanya karena selama ini UMKM mengandalkan cara konvensional dalam berjualan. Pembeli datang ke lokasi lapak jualan, transaksi jual beli tatap muka, mengobrol, dan sebagainya. Kondisi diperparah dengan adanya social distancing dan diterapkannya PPKM.
Agar dapat bertahan di masa pandemi dan era revolusi industri 4.0, sektor UMKM harus lebih kreatif dan goes online. Dalam skala nasional, hanya 13% UMKM yang familiar dengan internet, artinya sudah menggunakan internet untuk berjualan. Sisanya masih konvensional. Sedangkan di Jawa Tengah, situasinya lebih baik. Terdapat 2.968 unit UMKM atau sekitar 23,6% yang sudah memanfaatkan internet.
“Ada optimisme juga karena 84% UMKM sudah menggunakan smartphonenya untuk berjualan, say hai, silaturahmi, prospek orang, dan lain sebagainya. Saya rasa ini perkembangan yang sangat baik. Kalo tidak menuju kesana, berat. Karena di era ini ada 3 hal yang harus dikerjakan UMKM yaitu, literasi data, literasi teknologi dan literasi manusianya. Manusia yang benar-benar aware bahwa jaman sudah berubah. Kalau tidak melakukan perubahan, masih konvensional, masih mengandalkan pertemuan-pertemuan fisik, agak berat (sulit bertahan, redaksi),” jelas Prof. Suharnomo.
Lebih lanjut Prof Suharnomo memaparkan, UMKM yang masih menjalankan bisnisnya secara konvensional masih bisa bertahan, tetapi harus blended, yaitu menyediakan platform untuk berjualan online, sembari tetap menjalankan bisnis secara konvensional. (Hariyani)