Dr. Endah Sri Hartatik, M. Hum, Dosen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro mendeskripsikan masalah-masalah sosial yang berhubungan dengan jalan raya diantaranya adalah perilaku pengguna jalan raya Pantura Jawa Tengah. Perilaku pengguna jalan raya tersebut antara lain deskripsi tentang kecelakaan, kriminalitas, perilaku pengemudi kendaraan bermotor (sopir), dan lain sebagainya. Para pengguna jalan raya yang dimaksudkan meliputi awak angkutan, pengguna jasa angkutan dan lainnya. Sementara para penegak hukum para polisi lalu lintas, dan petugas jalan raya (DLLAJR, jembatan timbang) merupakan petugas yang mengamankan jalan raya selain itu juga diungkap kelompok-kelompok sosial yang menyediakan kebutuhan yang terkait jalan raya selama masa Orde Baru. Manusia yang melewati Jalan Raya Pantura harus mematuhi dan mentaati aturan yang berlaku. Penyimpangan perilaku mengguna jalan raya tersebut melahirkan tradisi yg khas. Tradisi khas tersebut didasarkan pada pola perilaku dan tradisi yang telah berkembang lama dalam dunia jalan pantura tersebut.
Menurut Dr. Endah, sebagai unit geografis, Jalan Raya Pantura telah melahirkan tatanan sosial dan budaya tersendiri. Tatanan sosial pada aturan lalu lintas yang dikeluarkan oleh pemerintah yang harus ditaati oleh pengguna jalan. Tatanan sosial dan budaya yang dibangun berdasarkan interelasi yang panjang antara aturan, pengguna jalan, dan instistusi penegak hukum dalam rentang yang panjang telah menemukan sosoknya sendiri. Hal-hal yang diungkap meliputi hubungan antara pengemudi angkutan dengan instistusi penegak hukum di jalan raya, premanisme jalan raya, dan prostitusi.
“Jalan Raya Pantura telah melahirkan tatanan sosial dan budaya yang khas. Hubungan antara pengemudi dengan institusi yang mengurus jalan raya membentuk tradisi tahu sama tahu untuk melanggar peraturan lalu lintas. Hal itu muncul sejak mengurus perizinan hingga perilaku di jalan raya. Jalan raya telah melahirkan tradisi premanisme yang langgeng karena didukung oleh aparat dan disadari oleh para pengguna jasa jalan raya, terutama truk dan bus. Di sejumlah lokasi pemberhentian truk muncul warung remang-remang yang menjadi tempat menikmati minuman keras dan prostitusi” tuturnya.
Ia menjelaskan Jalan Raya melahirkan tata nilai yang dibangun oleh pemerintah melalui sejumlah aturan yang dikeluarkan. Akan tetapi dalam implementasinya di jalan raya menghasilkan tata nilai yang berbeda yang disepakati dan saling dipahami antara sesama pengemudi dan atau petugas pengatur lalu lintas. Kesenjangan antara aturan dengan perilaku itu tergantung pada dua hal, yakni semakin padatnya angkutan yang melintas di Jalan Raya Pantura dan longgarnya proses pemberian izin pengemudi hingga pengaturan lalu lintas di jalan raya. Faktor terakhir ini berkaitan dengan perilaku korupsi yang dilakukan aparat keamanan.
“Pada masa Kolonial Belanda kesenjangan antara aturan dengan perilaku di jalan raya lebih tipis dibandingkan dengan masa pascakemerdekaan. Kesenjangan tersebut semakin melebar pada masa Orde Baru. Jalan Raya Pantura telah melahirkan image masyarakat sebagai wilayah Keganasan atau wild area. Pantura diasosiasikan dengan kepadatan, kebisingan, adu kekuatan di jalan, pembantaian, kekerasan, dan hedonisme. Image tersebut muncul sejalan dengan ketidakseimbangan antara ruas jalan dengan jumlah kendaraan yang melintas di atasnya” pungkasnya. (Linda Humas)