PSDS-Undip Semarang- Webinar yang diselenggarakan oleh Program Studi Doktor Sejarah pada 28 Februari 2022 ini mengusung tema, “Maritime History and Global Interaction in the Malay World”. Ada tiga pembicara diundang dalam acara ini, ketiganya merupakan dosen yang fasih dalam mengartikulasikan pengetahuannya tentang dunia kemaritiman, yaitu Dr. Maureen De Silva (University Malaysia Sabah), Dr. Endang Susilowati, M.A. (Universitas Diponegoro), dan Dr. Eko Prayitno Joko (University Malaysia Sabah). Webinar ini dihadiri oleh ratusan peserta dari berbagai institusi, di antaranya Universitas Indonesia, Universiti Malaysia Sabah, Universitas Jember, Universitas Diponegoro, dan lainnya.
Prof. Dr. Singgih Tri Sulistiyono, M. Hum., selaku Ketua Program Studi Doktor Sejarah menyampaikan bahwa webinar ini merupakan implementasi dari butir kerja sama sebagaimana tertuang dalam Letter of Intent (LoI), ditandatangani antara Program Studi Sejarah Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora Universiti Malaysia Sabah dengan Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro pada 18 September 2021 silam. Selain melalui penyelenggaraan kerja sama dalam seminar, kerja sama kedua institusi ini juga dilakukan melalui joint publication, baik artikel pada jurnal nasional yang terindeks Sinta dan jurnal internasional bereputasi maupun buku ber-ISBN, seperti buku berjudul Laut dan Dinamika Masyarakat Nusantara Jilid I dan Jilid II. Selanjutnya, Prof. Singgih mengungkap dalam sambutannya bahwa tema sejarah maritim dan interaksi global ini sengaja diangkat untuk menyuguhkan dialog yang dinamis terkait perkembangan interaksi antara manusia dengan perairan.
Webinar yang dimoderatori oleh Dr. Dhanang Respati Puguh, M. Hum ini berjalan sangat cair dan penuh antusias dari para peserta. Sangat menarik menyimak paparan dari Dr. Maureen De Silva (University Malaysia Sabah) memaparkan tentang sejarah awal migrasi buruh Indonesia ke Sabah, khususnya pada abad ke-19 hingga abad ke-20. Migrasi ini memiliki relasi kuat dengan ketergantungan akan sumber daya manusia (SDM), khususnya yang berasal dari Jawa Tengah. Buruh Jawa diekspor ke Sumatra, tanah Melayu, Thailand, Queensland, yang paling jauh hingga ke Amerika Selatan. Migrasi buruh memang sama sekali bukan sesuatu yang unik, tapi sudah menjadi bagian integral dari migrasi besar-besaran. Kehidupan buruh Jawa tentu saja penuh dengan cerita pilu, terhadap pengawasan ketat dari pihak kolonial, buruh Jawa melakukan beragam “perlawanan secara tersembunyi” (sebagaimana teori James Scott), seperti melakukan mogok, demonstrasi, tidak datang kerja, bahkan bunuh diri.
Pembicara kedua adalah Dr. Endang Susilowati, M.A. (Universitas Diponegoro) menjelaskan bagaimana eksistensi pelayaran perahu pada masa pendudukan Jepang (1942-1945) dan Revolusi Kemerdekaan Indonesia (1945-1949). Pada masa pendudukan Jepang, eksistensi kapal layar rakyat yang kerap disebut sebagai “armada semut” ini diwarnai dengan pasang surut. Pelayaran dan perdagangan antarpulau, baik dengan kapal uap maupun perahu layar nyaris terhenti. Bahkan, sebanyak 50 persen dari jumlah kapal layar yang biasa berlayar ke Banjarmasin dan Surabaya dinyatakan hilang (atau sengaja ditenggelamkan) oleh tentara Jepang. Akhirnya, distribusi barang menjadi tersendat karena kekurangan armada dalam pelayaran antarpulau. Selanjutnya, pada masa Revolusi Kemerdekaan Indonesia, Dr. Endang menjelaskan bahwa pelayaran perahu Banjarmassin dimanfaatkan untuk mendistribusikan senjata ke medan pertempuran dan melayani kebutuhan logistik para gerilyawan di berbagai daerah. Tidak hanya itu, dalam rangka mematahkan blokade Belanda yang membatasi aktivitas pelayaran perahu, perahu-perahu ini juga melakukan perdagangan gelap dengan Singapura.
Pembicara terakhir adalah Dr. Eko Prayitno Joko (Universiti Malaysia Sabah) memberikan paparan tentang usaha-usaha untuk memberikan makna baru atas perspektif kolonialis melalui sejarah lisan. Betapa penting sejarah lisan untuk merekonstruksi sejarah lisan, baik di Indonesaia maupun di Malaysia. Untuk mendekontruksi konstruksi historis yang dibuat oleh penguasan kolonial. Tidak bisa dimungkiri, masa kolonial telah berhasil menguasai ruang-ruang epistemologi melalui catatan kolonial yang dihasilkan. Dengan demikian, melalui sejarah lisan, demokratisasi dan reformasi sejarah tidak hanya terbatas pada elite, tetapi juga pada masyarakat atau orang-orang biasa yang suaranya tidak didengar dari sudut manapun juga. (Fanada Sejarah)