UNDIP, Semarang (29/10) – Rangkaian kegiatan Dies Natalis ke-68 Universitas Diponegoro (UNDIP) diramaikan dengan Pagelaran Ketoprak “Banjaran Diponegoro” yang dilaksanakan pada Rabu, 29 Oktober 2025 di Gedung Prof. Sudarto S.H., UNDIP Tembalang. UNDIP, sebagai universitas terbesar di Jawa Tengah, berperan dalam menguatkan identitas kampus budaya dengan “nguri-uri budaya Jawa” melalui Pagelaran Ketoprak yang diperankan langsung oleh jajaran pimpinan Universitas Diponegoro.
“Banjaran Diponegoro” mengisahkan tentang perjalanan hidup pahlawan nasional pemimpin besar dalam Perang Jawa (1825-1830), Pangeran Diponegoro, sejak masa mudanya hingga awal perlawanan terhadap penjajahan Belanda. Disutradarai oleh Sunarno (Ngesti Pandawa) dan diketuai pimpinan produksi Laura Andri R.M., S.S., M.A., Pagelaran Ketoprak ini memberikan warna baru terhadap seni kebudayaan di UNDIP. Prof. Dr. Suharnomo, S.E., M.Si., Rektor UNDIP berperan sebagai Pangeran Diponegoro. Terdapat juga penampilan spesial dari bintang tamu Gareng dan Said Bajaj Bajuri.
Acara diawali dengan pembukaan dari pembawa acara yang memperkenalkan Pagelaran Ketoprak “Banjaran Diponegoro” dengan 5 (lima) bahasa yakni bahasa Indonesia, Jawa, Arab, Inggris, dan Jepang.
Rektor UNDIP Prof. Dr. Suharnomo, S.E., M.Si. dengan mengenakan busana Pangeran Diponegoro, menyambut kehadiran seluruh penonton yang memenuhi tribun lantai satu dan dua di gedung Prof. Sudarto, S.H. Ia menyampaikan terima kasih kepada panitia Pagelaran Ketoprak yaitu Fakultas Ilmu Budaya UNDIP yang telah mempersembahkan acara budaya yang spektakuler.
Prof. Suharnomo menyebutkan peribahasa yang menggambarkan suasana saat ini, “Dengan ilmu hidup menjadi lebih mudah. Dengan agama hidup menjadi terarah. Dengan seni hidup menjadi indah.” Dengan diselenggarakannya acara ini diharapkan dapat menggugah semangat keluarga besar UNDIP untuk menghargai dan melestarikan budaya Nusantara.
Dekan Fakultas Ilmu Budaya UNDIP, Prof. Dr. Alamsyah, S.S. M.Hum. selaku ketua panitia Ketoprak “Banjaran Diponegoro” menjelaskan bahwa pagelaran ini tidak sekadar hiburan, melainkan sarana edukasi dan refleksi nilai-nilai perjuangan, nasionalisme, serta keluhuran budaya Jawa yang menjadi warisan adiluhung bangsa.
Lebih lanjut, Prof. Alamsyah menjelaskan bahwa kisah Pangeran Diponegoro yang diangkat dalam pementasan ini merupakan simbol keteguhan moral, keberanian melawan kezaliman, dan pengabdian pada rakyat—nilai-nilai yang sejalan dengan semangat Universitas Diponegoro.
Di panggung gedung Prof. Sudarto, S.H., UNDIP yang disulap menjadi ruang teatrikal, Ketoprak “Banjaran Diponegoro” dimulai dengan cerita di Keraton Mataram, di mana sosok Raden Mas Mustahar kecil (kelak disebut Pangeran Diponegoro) menyaksikan penderitaan rakyat akibat penindasan pemerintah berupa pajak yang tidak masuk akal. Putra dari Gusti Raden Mas Suraja (Hamengkubuwono III) dan R.A. Mangkarawati ini memiliki perangai yang cerdas, rendah hati, dan religius. Tumbuh menyaksikan ironi tersebut, RM Mustahar bertekad tidak akan tinggal di keraton, melainkan hidup di Tegalrejo bersama rakyat jelata.

Menginjak usia dewasa, Ontowiryo (nama muda Pangeran Diponegoro) menolak ajakan keluarga kerajaan untuk menetap di istana dan lebih memilih hidup sederhana di desa. Sementara itu, ayahnya Raden Mas Suraja diangkat menjadi Sultan Hamengkubuwono III, dan Ontowiryo diberi gelar Pangeran Diponegoro, yang berarti “penerang bagi negeri”.
Ketegangan muncul ketika pemerintah kolonial Belanda semakin berkuasa di tanah Nusantara dan mencampuri urusan Keraton Yogyakarta. Pemerintah Belanda (Residen Smissaert) bekerja sama dengan Patih Danurejo dari Mataram untuk membangun jalan yang melewati wilayah Tegalrejo, bahkan menembus makam leluhur kerajaan. Diponegoro tentunya menentang keras tindakan itu karena dianggap menodai kesucian tanah leluhur.
Pertentangan pun memuncak menjadi konflik bersenjata. Pasukan Belanda di bawah Jenderal De Kock dan Smissaert memaksa meneruskan pembangunan jalan, namun dihadang oleh pengikut Diponegoro seperti Sentot Prawirodirjo, Kyai Mojo, dan Pangeran Mangkubumi. Pertempuran besar yang tak terhindarkan pun pecah di Bumi Tegalrejo.
Setelah pertempuran pertama di Tegalrejo, Diponegoro memutuskan mundur ke Goa Selarong bersama para pengikutnya untuk menyiapkan taktik dan melanjutkan perjuangan. Di sana, dia bersumpah akan berperang melawan Belanda demi kehormatan dan kemerdekaan tanah air.
Tekadnya yang kuat terukir dalam sejarah hingga kini: “Sadumuk batuk sanyari bumi ditotohi pecahing dodo wutahing ludiro, ditohi tekan pati.” — yang artinya, “Sejengkal tanah pun akan diperjuangkan sampai tetes darah terakhir.”
Adapun jajaran pimpinan UNDIP yang turut memerankan lakon pada Ketoprak “Banjaran Diponegoro” antara lain:
● Prof. Ir. Edy Rianto, M.Sc., Ph.D., I.P.U. sebagai Buminoto
● Prof. Mohamad Nasir, M.Si, Akt, Ph.D. sebagai Pangeran Adinegoro
● Prof. Dr. Endang Larasati S., M.S. sebagai Gusti KRA Ageng
● Prof. Dr. Ir. Agus Indarjo sebagai Kyai Mojo
● Prof. Dr.ret.nat. Heru Susanto, S.T., M.T. sebagai Sentot Prawiro Dirjo
● Prof. Dr. Mohammad Djaeni, S.T., M.Eng. sebagai Jenderal De kock
● Prof. Dr. Adian Fatchur Rochim, M.T. sebagai Purboyomangkubumi
● Wijayanto, S.IP., M.Si, Ph.D. sebagai Raden Mas Mustahar (Ontowiryo)
● Prof. Dr. Ir. Purwanto, DEA sebagai Raden Mas Surojo (Ayahanda Diponegoro)
● Prof. Dr. Ir. Bambang Waluyo Hadi Eko P., M.M., M.Sc., Ph.D. sebagai Residen Hendrik Smissaert
Pagelaran Ketoprak yang membahana ini dikemas dalam seni drama sarat makna dan juga diselipkan humor yang mengundang gelak tawa penonton. Cerita ini bukanlah sekadar kisah tentang perang dan kekuasaan, namun merupakan kisah moral atas cinta terhadap tanah air.
Kepemimpinan Pangeran Diponegoro yang bernilai luhur, berani, dan mengabdi pada masyarakat adalah kunci dari semangat Universitas Diponegoro sebagai kampus yang bermartabat dan bermanfaat bagi bangsa dan negara. Dengan menumbuhkan jiwa nasionalisme, UNDIP memperkuat pondasi bangsa dengan menciptakan dunia akademik yang berkarakter budaya. (Komunikasi Publik/UNDIP/Titis-DHW)







