Dewasa ini karya sastra puisi menjadi booming sebagai sarana berkomunikasi untuk menyampaikan pesan. Puisi memiliki peran penting yang berguna bagi kehidupan manusia, salah satunya media komunikasi karena melalui puisi kita dapat menyampaikan pesan baik secara tersirat maupun tertulis. Puisi merupakan rekaman dan interpretasi pengalaman manusia, diubah dalam wujud yang paling berkesan.
“Sebagaimana layaknya seni, puisi menjadi ruang ekspresi manakala jalur-jalur formal dibungkam. Puisi adalah perpanjangan diri yang pada beberapa sisi tak bisa ditampilkan secara nyata, menjadi wakil yang paling santun, sekaligus paling berani. Puisi lebih didengar, bisa menggerakan dan karenanya menakutkan bagi sebagian orang karena dia menyentuh relung kalbu, bukan kepala. Puisi pada saya pribadi adalah ruang bermain yang membebaskan” ungkap Dr. Lintang Ratri Rahmiaji S.Sos., M.Si., Dosen Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro.
Di tengah kesibukan sebagai dosen, aktivis literasi sekaligus menjabat Ketua I Bidang Seni dan Budaya (KSBN) Kota Semarang. Ia masih menyempatkan untuk menulis puisi-puisi dan tahun 2020 lalu menerbitkan buku kumpulan puisi pertamanya, “AMBAVASNABHISMA: Serenada Kata-Kata”. Selain itu ia juga ikut menulis bersama di “CORPUS PUISI PANDEMI : Merajut Kata, Ilmu, dan Hati” (2020) dan “Sang Acharya : Antologi Puisi Guru dan Dosen” (2020).
“Pekerjaan jika dituruti seperti kasih ibu, tak terhingga sepanjang masa. Lebih cepat selesai biasanya langsung ada yang antri untuk dikerjakan, bahkan di masa WFH akan bekerja dari rumah, kita tidak lagi punya waktu istirahat di akhir pekan. Jadi sama halnya dengan aktivitas lainnya, seperti waktu keluarga, waktu olahraga, waktu ibadah dan lain-lain, bagi saya perlu waktu untuk diri sendiri, bahasa kerennya me time” tuturnya.
“Mengapa? Supaya hidup ini seimbang, sehat dan tidak kering. Bagaimana caranya, batasi jam bekerja dan beri diri sendiri waktu, biasanya untuk merawat jiwa, raga dan kepala. Menjaga jiwa ini yang sekarang lagi giat diupayakan selama pandemi, mental health. Nah saya beruntung banyak hal bisa saya lakukan untuk menjaga kesehatan jiwa, salah satunya menulis puisi. Puisi kemudian menjadi momen penting dari proses pemeliharaan dan peremajaan jiwa yang sehat, banyak kali pemulihan” lanjutnya.
Menurut Lintang, berkesenian menjadi hal yang ia sempatkan, diajak apapun selama temanya baik membaca, menulis, menjadi juri baca puisi atau editor buku puisi, menjadi pembedah buku puisi, menjadi anggota komite seni budaya, yang hampir semuanya probono (gratis/cuma-cuma), bahkan menjadi penonton pementasan puisi pun ia akan dengan senang hati turut berpartisipasi.
“Karena saya sudah familiar dengan puisi sejak kecil, bapak saya dulu adalah redaktur budaya korannya Jawa Tengah dan Ketua Keluarga Penulis Semarang, dan sering menjadi juri puisi dimana menjadi momen bertemu ibu, yang waktu itu adalah jawara pembaca puisi. Puisi seperti sejarah keluarga, nonton bareng pentas puisi, lomba baca puisi, pentas bareng, kalua sekarang menjuri bareng. Yang relatif baru dan butuh keberanian adalah menerbitkan buku puisi. Sulit menghalau ketakutan sebagai anak seniman di jamannya, saya selalu merasa tulisan saya terlalu “muda” alias belum matang. Suami saya lah yang menjadi suporter terdepan soal ini, katanya terbitkan saja, meski dia tahu ini puisi cinta” terangnya.
“Kita memang tidak bisa memaksakan semua orang menyukai puisi, namun pada titik tertentu semua bisa disentuh dengan puisi. Agar lebih bisa masuk, sekarang era nya digital, jadi dikemas supaya bisa dinikmati di media digital, seperti medsos atau dibikin video, saya lihat ada teman-teman yang bikin di IG orang biasa baca puisi, itu menarik banget idenya, artinya puisi itu tidak eksklusif milik seniman saja, kemudian ada diskusi live di ig.. membincangkan puisi, atau bikin podcast” ujarnya.
Ia menyukai genre puisi mellow, puisi-puisi favoritnya diantaranya adalah karya Sapardi Djoko Damono, Aan Mansyur dan Joko Pinurbo, Lucia Priandini, Beni Satryo atau Inggit Putria. Kamus Kecil karya Joko Pinurbo dan Dalam Doaku karya Sapardi Djoko Damono, kedua puisi tersebut menurutnya memiliki permainan bunyi yang indah, metafora yang sederhana tapi dalam maksudnya, pendek kata, kedua puisi itu langsung masuk tidak perlu permisi ke relung jiwanya dan berdiam disana, selamanya.
Sementara harapannya untuk kemajuan Undip menuju World Class University, ia berharap semoga tujuan tidak kemudian meniadakan proses, dan niat baik di awal. “Bukan sekadar peringkat dan angka-angk tapi sungguh-sungguh dalam pembangunan manusianya, universitas seperti pabrik manusia yang diharapkan menjadi Maha, yang paling baik, jadi semoga fokus utamanya itu, pembangunan SDM, dan itu berarti meliputi dosen, tenaga kependidikan maupun fasilitas pembelajarannya, semua harus berkembang” pungkasnya. (Linda Humas)