,

Pakar UNDIP Berikan Tips Memilih Hewan Kurban yang Sehat

Pemerintah secara resmi telah menetapkan Hari Raya Idul Adha pada tanggal 29 Juni 2023. Demi memastikan keamanan dan kelancaran pelaksanaan Kurban, masyarakat perlu mengetahui bagaimana cara memilih hewan kurban dan menyelenggarakan kurban di masa wabah penyakit hewan menular, yaitu Penyakit Mulut dan Kuku (PMK), Penyakit Kulit Berbenjol / Lumpy Skin Disease (LSD) dan kewaspadaan terhadap penyakit Peste des Petits Ruminants (PPR). Ketiga penyakit hewan tersebut bukan penyakit Zoonosis, sehingga tidak berbahaya bagi masyarakat, tidak menular ke manusia melalui hewan hidup maupun daging yang dikonsumsi. Kewaspadaan yang diterapkan ditujukan untuk mencegah penyebaran antar hewan yang peka yang nantinya berdampak negatif pada sektor peternakan dan ketersediaan protein hewani.

Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) merupakan penyakit akibat virus yang sangat menular dan menyerang hewan berkuku belah seperti sapi, kerbau, domba dan kambing. Virus PMK dapat bertahan lama di lingkungan dan dapat bertahan hidup di tulang, kelenjar susu dan produk susu. Masa inkubasi 1 hingga 14 hari, dengan angka kesakitan (morbiditas) mencapai 100% dan angka kematian tinggi pada hewan muda.

Berdasarkan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 32 Tahun 2022, tentang “Hukum dan Panduan Pelaksanaan Ibadah Kurban saat Kondisi Wabah Penyakit Mulut dan Kuku”, hewan dengan PMK bergejala klinis kategori ringan seperti lepuh ringan pada mulut dan celah kuku, kondisi lesu, kurang nafsu makan dan keluar air liur lebih dari biasanya (hipersalivasi) hukumnya sah menjadi hewan kurban. Sedangkan jika gejala klinis PMK nya dalam kategori berat seperti lepuh pada kaki hingga kuku terlepas dan menyebabkan pincang serta sulit berjalan atau bahkan tidak mampu berdiri serta hewan sangat kurus, maka hukumnya tidak sah untuk dijadikan hewan kurban.

Gejala klinis yang ringan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap jumlah dan kualitas daging yang dihasilkan, dengan demikian daging tetap layak untuk dikonsumsi setelah melewati proses pelayuan minimal 24 jam dan atau proses perebusan / pemasakan selama minimal 30 menit. Penyakit PMK tidak menular kepada manusia dan virus mudah dimatikan dengan perebusan dalam air mendidih minimal 30 menit. Bagian kepala, tulang dan jerohan dapat direbus terlebih dahulu pada suhu 70°C selama minimal 30 menit sebelum di distribusikan untuk mencegah penyebaran penyakit ke hewan yang peka.

Penyakit kulit berbenjol/ Lumpy Skin Disease (LSD) disebabkan oleh virus yang mengakibatkan munculnya benjolan padat pada kulit di hampir seluruh tubuh. Penyakit ini dapat menular ke sapi dan kerbau melalui gigitan serangga. Penyakit LSD tidak menular ke manusia. Tingkat kesakitan (morbiditas) mencapai 80% dan tingkat kematian mencapai 10%. Pada saat ini, dunia peternakan dan kesehatan hewan juga sedang berada pada masa kewaspadaan akan penyakit Peste des Petits Ruminants (PPR) yang dapat menyerang ternak ruminansia kecil (kambing dan domba). Penyakit PPR disebabkan oleh virus dan tidak menular kepada manusia tetapi sangat mudah menginfeksi hewan yang peka. Gejala penyakit PPR dicirikan adanya ingus kental berwarna kekuningan dari hidung dan kelopak mata, adanya luka pada bibir-rongga mulut-lidah, serta diare yang dapat disertai dengan darah.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan Fatwa Nomor 34 Tahun 2023, tentang “Panduan pelaksanaan ibadah kurban saat merebaknya penyakit Lumpy Skin Disease (LSD) dan antisipasi penyakit Peste des Petits Ruminants (PPR) pada hewan kurban”. Hewan yang terinfeksi LSD dengan gejala klinis kategori ringan, yaitu belum menyebarnya benjolan dan hewan tidak terdampak secara signifikan (tidak mengalami kekurusan), hukumnya sah dijadikan hewan kurban. Sedangkan pada kategori infeksi LSD berat, yaitu penyebaran benjolan pada tubuh mencapai 50% atau lebih, sudah ada benjolan yang pecah dan menjadi koreng dan terbentuk jaringan parut maka berdasarkan Fatwa MUI hukumnya tidak sah dijadikan hewan kurban. Infeksi LSD dengan kategori berat akan menyebabkan kerusakan pada kulit dan pada permukaan daging. Hewan yang terjangkit PPR dengan gejala Sub-Akut hukumnya sah untuk dijadikan hewan kurban. Gelaja PPR Sub-Akut diantaranya adalah: suhu tubuh 39 – 40°C dan tidak menunjukkan gejala klinis yang parah. Sedangkan hewan yang terjangkit PPR dengan gejala klinis Per-Akut hukumnya tidak sah dijadikan hewan kurban. Gejala PPR Per-Akut diantaranya adalah : demam tinggi (suhu 40-42°C), depresi, leleran kental berwarna kuning pada pada mata dan hidung, sesak nafas, diare cair yang parah (profuse watery diarrhea), biasanya membutuhkan waktu yang lama untuk disembuhkan serta dimungkinkan berlanjut kematian dalam waktu 4-5 hari.

Masyarakat perlu mengetahui ciri-ciri hewan sehat dan sebetulnya dapat melakukan sendiri pengamatan kesehatan secara umum. Ciri hewan sehat diantaranya : aktif bergerak, nafsu makan baik, bulu tidak kusam, sapi cermin hidung basah, mata bersinar, mulut hidung dan rektum/anus bersih. Sedangkan cara melakukan pemeriksaan / penilaian kesehatan hewan diantaranya dengan mengamati hewan dari sisi kanan, kiri depan dan belakang. Kemudian mintalah pedagang untuk menjalankan hewan untuk mengetahui apakah ada pincang pada kaki. Untuk mengetahui nafsu makan, calon pembeli dapat mencoba untuk memberikan pakan. Ternak yang sehat akan merespon jika didekati dan diberi pakan. Pengamatan juga dapat dilakukan pada lubang-lubang tubuh dan mata, apakah ada leleran lendir yang abnormal, serta kulit dan bulu. Pada sapi, diamati pula bagian cermin hidung, kondisi sehat/normal cermin hidung basah, namun apabila cermin hidung kering menunjukkan hewan sakit/demam. Tips tambahan dalam memilih hewan kurban bagi masyarakat adalah : Hewan harus dipastikan memiliki Surat Keterangan Kesehatan Hewan (SKKH), serta hewan berasal dari daerah yang tidak sedang terjangkit wabah hewan menular.

Selanjutnya, pertanyaan yang juga sering disampaikan oleh masyarakat adalah Apakah hewan kurban harus jantan? Mayoritas ulama menyatakan bahwa hewan kurban tidak harus jantan, melainkan boleh betina. Namun demikian, sangat disarankan untuk memilih hewan kurban jantan. Hal ini sesuai dengan Undang-undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, di pasal 18 menyebutkan bahwa : “Setiap orang dilarang menyembelih ternak ruminansia kecil betina produktif atau ternak ruminansia besar betina produktif”.

Pelarangan pemotongan betina produktif ini untuk menjaga dan meningkatkan populasi ternak ruminasia besar (sapi, kerbau) serta ruminansia kecil (kambing dan domba). Pertanyaannya selanjutnya yang mungkin muncul adalah jika ternak betina sudah tidak produktif atau afkir, apakah masih layak untuk ibadah kurban? Tentunya kita pasti ingin memberikan hewan kurban dengan kualitas terbaik untuk ibadah kita, terlebih di lingkungan kita cukup banyak pilihan hewan ternak yang dijual untuk dijadikan hewan kurban. Lebih lanjut, jika panitia kurban menemukan suatu kecurigaan terhadap penyakit hewan, atau ragu-ragu terhadap kondisi kesehatan hewan kurban yang diterimanya, maka segera dilaporkan ke Dokter Hewan yang bertugas dan atau Dinas yang membidangi fungsi Peternakan dan Kesehatan Hewan.

Share this :

Category

Arsip

Related News