Jeli Mencermati, Bukan Menghakimi

Di dalam ekosistem informasi yang penuh dengan kabar bohong, ujaran kebencian, dan hasrat untuk menghakimi, korban pertama yang segera jatuh adalah: kebenaran.

Di dalam kasus PPDS, UNDIP sudah melakukan investigasi internal namun seperti disampaikan berkali-kali oleh Rektor di berbagai kesempatan: UNDIP sangat terbuka dengan hasil investigasi dari pihak luar baik itu kepolisian maupun Kemenkes.

Jika memang terbukti ada perundungan, hukuman untuk pelakukanya jelas dan tegas: Drop Out.

Namun, faktanya bahkan saat investigasi itu masih jauh dari kata selesai: penghakiman bahkan hukuman sudah dilakukan. Berkali-kali.

Hukuman pertama berupa penutupan Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) UNDIP. Penutupan itu dilakukan Kemenkes pada 14 Agustus 2024 jauh sebelum penyidikan itu rampung dan ada kata putus dari polisi dan apakah lagi pengadilan.

Penutupan program studi itu tidak hanya merugikan 80-an para mahasiswa PPDS lainnya. Namun juga masyarakat yang mesti panjang mengantri karena kelangkaan dokter di RS Karyadi.

Hukuman kedua baru saja terjadi kemarin. Hukuman itu diberikan kepada Dr. Yan Wisnu, Dekan Fakultas Kedokteran UNDIP.

Saya mengenalnya sebagai pria bersuara lirih, selalu ramah, tidak pernah meledak-ledak dan sangat hati-hati dan terukur dalam berkata-kata. Dapat dimengerti, dia adalah seorang dokter spesialis Onkologi. Saat saya periksa wikipedia, itu adalah cabang ilmu yang berurusan dengan studi, perawatan, diagnosa dan pencegahan kanker.

Beberapa kali saya bertemu dengannya akhir-akhir ini. Wajahnya lelah dan tampak kurang tidur. Kepada saya, dia mengaku mengalami banyak sekali doxing dan perisakan di berbagai akun media sosial yang dia miliki. Hari-hari ini dia merasa didera rasa cemas dan panik, stress dan burn out.

Di mata saya dia adalah sosok yang penuh integritas. Sulit saya membayangkan dia rela untuk melindungi pelaku perundungan dan mengorbankan nama baiknya sendiri. Mengorbankan puluhan mahasiswa yang lain dan, terutama, almamater UNDIP yang teramat dcintainya. Apalagi ditambah semua perisakan yang dialaminya.

Namun, siang hari kemarin, bahkan sebelum hasil investgasi keluar, dia sudah terlebih dulu diberhentikan praktiknya dari RS Kariadi. Yang melakukan pemberhentian itu adalah Direktur Rumah Sakit. Kita mendengar Pak Dirut mendapat tekanan luar biasa dari kementerian kesehatan sehingga mengeluarkan keputusan itu. Di sini, kita segera teringat kasus yang menimpa Dekan Fakultas Kedokteran Unair yang diberhentikan oleh menteri karena berani kritis pada kebijakan pemerintah.

Hukuman dan penghakiman kepada PPDS dan UNDIP mungkin masih akan terus berlanjut. Pak Rektor UNDIP menyebutnya: “sitting duck” alias bebek yang lumpuh yang tidak berdaya melawan berbagai bahaya yang mengancam.

Ya, semunya tertuju pada UNDIP dan hanya UNDIP. Bahkan meskipun pada kenyataannya, seperti jelas dalam berbagai dialog, jam kerja yang overload itu adalah kebijakan rumah sakit dan ini adalah ranah kebijakan kementerian kesehatan.

Mahasiswa PPDS belajar dengan cara yang tidak biasa: learning by doing dengan langsung praktik di rumah sakit.
Seorang residen, julukan untuk mahasiswa PPDS yang tengah belajar di rumah sakit, mesti bekerja rata-rata lebih dari 80 jam seminggu. Tidur hanya 2-3 jam setiap hari. Kadang mesti bekerja hingga 24 jam alias sama sekali tidak tidur.

Di sinilah mengapa Rektor mengungkapkan bahwa penyidikan itu sayapnya patah karena hanya sebelah.

Peristiwa ini ibarat puncak gunung es. UNDIP mendorong agar investigasi dilakukan secara tuntas agar terungkap akar struktural dan sistemik dari keadaan ini sebagai modal pembenahan ke depan. Agar UNDIP tidak terus-terusan menjadi sitting duck yang dihujani hukuman tanpa bukti, dan tanpa pengadilan.

Kemarin Unair yang mengalaminya. Hari ini UNDIP. Esok entah siapa lagi.

(Wakil Rektor IV UNDIP: Wijayanto, Ph.D., )

Share this :

Category

Arsip

Related News