UNDIP, Simeulue, Aceh (24/10) — Suara warga bergema di ruang pertemuan Desa Jaya Baru, Kecamatan Salang. Di tengah ruangan, terbentang peta besar dengan tempelan kertas warna-warni — hijau untuk potensi, merah untuk masalah. Dari ujung meja hingga ke dinding, percakapan warga, nelayan, dan kepala desa berkelindan tentang satu hal yang sama: masa depan pesisir mereka.
Forum itu bukan sekadar sosialisasi rutin pemerintah. Inilah Forum Group Discussion (FGD) bertema Ekologi dan Infrastruktur yang difasilitasi oleh Tim Patriot Selaut Universitas Diponegoro (UNDIP), sebagai bagian dari Program Ekspedisi Patriot 2025 bentukan Kementerian Transmigrasi Republik Indonesia (Kemtrans RI).
Dari Kampus ke Lapangan: Menyulam Data dan Suara Warga
Kegiatan di Salang dan Alafan ini menjadi lebih dari sekadar penelitian. Bagi Tim Patriot Selaut UNDIP, FGD merupakan ruang pembelajaran dua arah — tempat data ilmiah bertemu pengalaman warga, dan kebijakan diuji lewat kenyataan di lapangan.
“Pendekatan berbasis peta ini membantu masyarakat mengenali kembali hubungan antara kondisi ekologi dan ketersediaan infrastruktur. Dari situlah arah pembangunan yang berkelanjutan bisa dirancang,” ujar Dr.-Ing. Asnawi Manaf, S.T., Ketua Tim Patriot Selaut UNDIP.
Sejak 2016, kawasan transmigrasi di Simeulue telah direncanakan sebagai wilayah pengembangan baru. Namun, sebagaimana diungkap warga, banyak tantangan yang belum terjawab: dari irigasi yang bergantung pada hujan, akses jalan dan jembatan rusak, hingga pelabuhan nelayan yang tak kunjung diperbaiki.
Melalui diskusi yang hangat dan metode partisipatif, Tim UNDIP mencoba memetakan ulang persoalan itu — bukan sekadar di atas kertas, tapi di atas peta yang diwarnai langsung oleh tangan masyarakat sendiri.
Dari Kampus ke Lapangan: Menyulam Data dan Suara Warga
Kegiatan di Salang dan Alafan ini menjadi lebih dari sekadar penelitian. Bagi Tim Patriot Selaut UNDIP, FGD merupakan ruang pembelajaran dua arah — tempat data ilmiah bertemu pengalaman warga, dan kebijakan diuji lewat kenyataan di lapangan.
“Pendekatan berbasis peta ini membantu masyarakat mengenali kembali hubungan antara kondisi ekologi dan ketersediaan infrastruktur. Dari situlah arah pembangunan yang berkelanjutan bisa dirancang,” ujar Dr.-Ing. Asnawi Manaf, S.T., Ketua Tim Patriot Selaut UNDIP.
Sejak 2016, kawasan transmigrasi di Simeulue telah direncanakan sebagai wilayah pengembangan baru. Namun, sebagaimana diungkap warga, banyak tantangan yang belum terjawab: dari irigasi yang bergantung pada hujan, akses jalan dan jembatan rusak, hingga pelabuhan nelayan yang tak kunjung diperbaiki.
Melalui diskusi yang hangat dan metode partisipatif, Tim UNDIP mencoba memetakan ulang persoalan itu — bukan sekadar di atas kertas, tapi di atas peta yang diwarnai langsung oleh tangan masyarakat sendiri.
Hasilnya adalah peta sosial-ekologis Simeulue bagian barat, yang menggambarkan keterkaitan antara sumber daya alam, akses infrastruktur, dan arah kebijakan pembangunan — sebuah potret spasial yang hidup dari narasi masyarakat pesisir.

Kolaborasi Akademisi: Satu Tujuan, Tiga Perspektif
FGD ini merupakan bagian dari kolaborasi tiga universitas besar di Indonesia — Universitas Diponegoro (UNDIP), Institut Pertanian Bogor (IPB), dan Universitas Indonesia (UI) — yang tergabung dalam Program Ekspedisi Patriot Kemtrans RI. Setiap universitas memiliki fokus keilmuan berbeda: UNDIP menyoroti aspek ekologi dan infrastruktur, IPB berfokus pada ketahanan ekonomi dan sumber daya pangan, dan UI mendalami kelembagaan sosial dan tata kelola masyarakat transmigrasi. Kehadiran tiga perguruan tinggi ini memperkuat prinsip kolaborasi antara akademisi, pemerintah, dan komunitas dalam mengevaluasi arah pembangunan kawasan transmigrasi di Simeulue.
Menegaskan Raison d’Être Universitas dalam Isu SDGs
Bagi UNDIP, Ekspedisi Patriot bukan sekadar pengabdian atau penelitian. Ia adalah perwujudan raison d’être universitas—lembaga pengetahuan yang berkomitmen menghadirkan kebijakan berbasis bukti sekaligus berkontribusi nyata terhadap pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
“Melalui instrumen FGD berbasis peta, universitas hadir untuk mengembangkan inovasi pemecahan masalah berbasis bukti, dan ini dilakukan melalui proses-proses partisipatif dari bawah,” ujar Dr.-Ing. Asnawi Manaf.
Hasil lapangan tim UNDIP memetakan potensi pertanian dan perikanan (SDG 2), kebutuhan perbaikan infrastruktur dasar (SDG 9), serta penguatan kapasitas sosial masyarakat pesisir (SDG 14 & 16). Temuan-temuan ini menjadi rekomendasi strategis bagi evaluasi kawasan transmigrasi yang lebih inklusif dan berkelanjutan.
Dengan riset ini, UNDIP menegaskan perannya sebagai jembatan antara kebijakan dan kenyataan, menghadirkan data sebagai dasar dialog, serta menjadikan peta sebagai medium partisipasi dalam mewujudkan pembangunan yang selaras dengan agenda SDGs. (Komunikasi Publik/UNDIP/ Tim Patriot Selaut)







